{facebook#https://www.facebook.com/tjari.tjari.102} {twitter#https://twitter.com/tjaritjariID} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}



AKARARASKAR - Pernah terpikir bagaimana hidung manusia berevolusi sejalan dengan evolusi manusianya sendiri, yang tentunya berkaitan dengan teori evolusi, tentang nenek moyang manusia adalah primata?

Jika primata memiliki hidung yang datar, mengapa manusia memiliki hidung yang lebih menonjol? Pernahkah kita memikirkan bagian tubuh yang tepat berada di wajah kita itu? Kecuali saat terkena flu atau gangguan? Hmmm... kalo begitu mari kita simak pernyataan peneliti tentang evolusi hidung.

Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa perubahan hidung manusia hanya hal biasa, sebagai produk sampingan dari perubahan lainnya, di mana perubahan penting lebih banyak terjadi pada struktur wajah. Akan tetapi, banyak pula peneliti yang memiliki keyakinan bahwa hidung manusia telah terbentuk langsung oleh seleksi alam.

Salah satu dari begitu banyak funsi hidung dan rongga hidung yaitu bertindak sebagai "AC", di mana secara bersama-sama mereka memastikan bahwa segala sesuatu yang melintasinya (udara) akan bersifat hangat dan lembab guna menghindari kerusakan lapisan halus pada paru-paru.

Akan tetapi, Takeshi Nishimura dan rekannya  di Uneversitas Kyoto, Jepang mengatakan bahwa hidung manusia bekerja buruk dalam hal tersebut.

Mereka men-scan hidung dan rongga hidung dari enam relawan manusia, empat sinpanse, dan enam kera, yang kemudian mereka simulasikan melalui perangkat komputer guna mengetahui aliran udara yang masuk ke dalam hidung dan rongga hidung sebelum akhirnya ke paru-paru.

Mereka pun menghitung seberapa efisien hidung dan rongga dari ketiga jenis model tersebut dari tiga jenis udara yang terhirup, yakni dingin dan kering, panas dan kering, serta hangat dan lembab (basah).

Dari penelitian tersebut, yang mengejutkan adalah hidung dan rongga hidung simpanse dinilai jauh lebih efektif ketika menghirup udara. Bahkan, ketika para peneliti artifisial tersebut mensimulasikannya dengan komputer, mereka mengatakan hidung manusia yang lebih menonjol tidak bekerja sebaik hidung simpanse yang datar.

"Hal ini menunjukkan, hidung yang menonjol kami (manusia) memiliki beberapa kontribusi sebagai 'AC' di hidung dan rongga hidung," kata Nishimura. Dia pun berpikir bahwa hidung manusia yang lebih menonjol namun berkinerja buruk hanya sebuah kebetulan.

Perubahan Bentuk Hidung

Para peneliti percaya bahwa homonin tengkorak menjalani reorganisasi dramatis dengan munculnya manusia sebenarnya dari genis Homo pada 2 hingga 3 juta tahun yang lalu. Pertumbuhan otak dan wajah yang relatif menjadi lebih kecil ditujukan untuk membuka ruang. Untuk mengakomodasi perubahannya hingga pada manusia saat ini, hidung dan rongg hidung dipaksa untuk berubah.

Untungnya, kata para peneliti, mengingat bahwa fluktuasi iklim di sekitar Afrika, perubahan hidung menjadi benar ketika manusia pertama kali muncul, yakni bekerjanya hidung sebagai pendingin udara menjadi lebih baik yang diikuti perubahan pula pada rongga hidung.

Hal tersebut, mungkin telah terbentuk dalam mengefisienkan hidung dan rongga hidung, sehingga memungkinkan manusia untuk sepenuhnya beradaptasi dengan udara yang mereka hirup. Secara khusu, lanjut peneliti itu, faring tenggorokan manusia lebih panjang daripada primata, dan mungkin telah mulai bertambah panjang lagi saat ini.

Panjang faring manusia juga sering dikaitkan dengan kemampuan manusia untuk berbicara, akan tetapi Nishimura mengatakan bahwa hal tersebut juga memiliki peran penting sebagai "pendingin" dalam menghirup udara.

Meskipun temuan baru Todd Rae di Universitas Roehampton, Inggris, mengatakan bahwa hidung telah disesuaikan dengan iklim di mana pemiliknya tinggal.

"Ada kecenderungan umum untuk orang di daerah tropis memiliki hidung aperture lebar," katanya. "Eropa, di sisi lain, memiliki aperture sempit, yang telah dianggap sebagai adaptasi untuk (pertahanan) hidup di iklim dingin."

Lubang hidung sempit, lanjutnya, menciptakan lebih banyak turbulensi di udara yang dihirup, yang meningkatkan tingkat panas dan kelembaban pertukaran antara udara dan jaringan yang menutupi dinding rongga hidung.

Akan tetapi, katanya, Neanderthal adalah pengecualian yang tampak mencolok untuk teori ini. Mereka tinggal di Eropa dengan iklim dingin tapi memiliki hidung yang lebar besar.

Menurut Rae dan rekan-rekannya, hal tersebut dimungkinkan karena Neanderthal benar-benar berevolusi dan beradaptasi dalam kondisi yang relatif hangat dan lembab, sebelum kemudian mereka pindah ke Eropa.

Journal reference: PLoS Computational Biology, DOI: 10.1371/journal.pcbi.1004807

Post a Comment

Powered by Blogger.