{facebook#https://www.facebook.com/tjari.tjari.102} {twitter#https://twitter.com/tjaritjariID} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}


Ilustrasi Foto: "Film Ken Arok Ken Dedes

Oleh Dwi Puspitorini


1. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multilingual. Di dalam masyarakat multilingual kemungkinan terjadinya kontak bahasa tidak dapat dihindari. Kontak bahasa ini menimbulkan saling serap antara unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Sebagai bahasa daerah dengan jumlah penutur terbesar, pengaruh unsur bahasa Jawa (BJ) di dalam bahasa Indonesia (BI) cukup besar karena sebagian besar penutur BI adalah juga penutur BJ. Besarnya pengaruh BJ ini bahkan membuat penutur BI yang bukan orang Jawa pun mungkin tidak merasakan lagi bahwa kata yang digunakannya berasal dari BJ. Tulisan pendek di bawah ini menggambarkan besarnya kata serapan BJ di dalam BI.

Banyak orang kumpul di alun-alun sambil membawa baki, bakul, arit, tampah. Mereka datang naik andong.  Ada yang pakai blangkon dan surjan, ada yang pakai kebaya. Mereka tidak ndeso lho karena sambil makan wajik, lemper, arem-arem, dan peyek yang rasanya mak nyus  mereka berani ngomong soal lengser keprabonnya Pak Harto, soal sekolah pamong praja yang akan dibubarkan SBY. Mereka sangat prihatin dan punya banyak  unek-unek.  Akan tetapi, mereka diwanti-wanti untuk tidak ngomong soal pejabat yang suka menerima upeti, suka aji mumpung dan doyan selingkuh. Mereka tidak sungkan atau rikuh meski mitra kerja, besan, embah, pakde, atau paklik mereka terlibat. Mereka tetap mau urun rembuk soal ambruknya moral bangsa ini.
Tulisan ini akan memaparkan hasil pengamatan terhadap kata serapan bahasa Jawa di dalam bahasa Indonesia sebagaimana tercatat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Pusat Bahasa, 1991),  Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Pusat Bahasa, 2001), dan Kamus Lengkap Indonesia-Inggris (Schmidgall-Tellings, A. Ed., dan A.M. Stevens, 2004). Ada beberapa pertimbangan mengapa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua juga dijadikan dasar pengamatan. Pertama, KBBI edisi kedua lebih lengkap dalam mencatat lema yang berasal dari BJ. Sebagai contoh, kata sungkan yang jelas berasal dari BJ tidak diberi keterangan berasal dari BJ pada kamus edisi ketiga. Kedua, banyak kata yang berasal dari BJ dibuang pada KBBI edisi ketiga. Pada kata pengantar KBBI edisi ketiga memang disebutkan bahwa lema dan sublema dari bahasa daerah yang frekuensi pemakaiannya dalam konteks bahasa Indonesia dianggap rendah terpaksa tidak digunakan lagi dalam edisi ketiga. Namun demikian, saya beranggapan bahwa beberapa kata yang dihilangkan, misalnya atur, mengaturkan1 mempersembahkan; 2 mengatakan; mengucapkan’ cukup sering digunakan dalam konteks bahasa Indonesia.
Pada tulisan ini, pengamatan difokuskan pada perubahan bentuk kata dan makna kata-kata yang berasal dari BJ. Untuk itu, beberapa kamus BJ digunakan sebagai sumber penjelasan makna. Kamus yang digunakan adalah Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) (Balai Bahasa, 2001) dan Javanese English Dictionary (Robson dan Wibisono, 2002)

2. Penyerapan unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia
            Sebagai bahasa daerah, BJ mempunyai fungsi sebagai pendukung bahasa Indonesia, dan sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia. Ribuan kata bahasa Jawa telah diserap oleh bahasa Indonesia. Pengamatan menunjukkan bahwa penyerapan kata BJ ke dalam BI dapat dibagi menjadi 2 kategori. Kategori pertama adalah penyerapan kata-kata yang ada padanannya di dalam bahasa Indonesia seperti gampang, rampung, ngomong, anyar, gawe, doyan, dhengkul, edan, dulang, gamblang, gosong, irit, gede, budek. Kategori kedua adalah penyerapan kata-kata yang tidak ada padanannya di dalam BI seperti besan, bindheng, sungkan, pamrih, rikuh, legowo, pakem.
2.1    Kategori Pertama: Penyerapan kata-kata yang ada padanannya di dalam bahasa Indonesia

Sejumlah kata Jawa yang terserap ke dalam bahasa Indonesia sebenarnya memiliki padanan kata di dalam bahasa Indonesia. Penyerapan unsur BJ yang semacam itu biasanya terjadi untuk memenuhi kebutuhan penggunaan kata secara praktis. Muhajir (1998) mengatakan bahwa bahasa Jawa berperan sebagai sumber untuk memenuhi keperluan komunikasi yang kurang formal, misalnya pengembangan bahasa pers dan percakapan sehari-hari yang santai. Contoh:

BJ
BI
BJ
BI
BJ
BI
gampang
mudah
anyar
baru
budek
tuli
rampung
selesai
gede
besar
edan
gila
ngomong
berbicara
budeg
tuli
gosong
hangus
joget
menari
dengkul
lutut
rebutan
berebutan
gawe
pekerjaan
doyan
suka, gemar
bareng
bersama
enteng
ringan
emoh
tidak mau
anteng
tenang
           
Iklan di surat kabar di bawah ini menujukkan bahwa kata rebutan yang berpadanan dengan kata berebutan dipilih karena dianggap lebih santai dan komunikatif dibandingkan kata berebutan yang terasa formal.

  

Selain untuk memenuhi penggunaan kata secara praktis, sejumlah kata-kata yang berasal dari bahasa Jawa (terutama bahasa Jawa Kuno) juga berperan sebagai sumber untuk memenuhi keperluan komunikasi formal, misalnya dasa, warsa, pemirsa, pamong praja, swasembada, tunanetra.

BJ
BI
dasa
sepuluh
warsa
tahun
tunanetra
buta
tunarungu
tuli
tunawicara
bisu

Masuknya sejumlah kata BJ untuk memenuhi kebutuhan penggunaan praktis, untuk percakapan seharai-hari yang santai, dan untuk keperluan komunikasi informal dan formal tersebut sesuai dengan penjelasan Anderson (1966) tentang perkembangan bahasa Indonesia ke dalam dua kecenderungan, yaitu ke arah kromonisasi dan ke arah ngokonisasi.
Selain untuk memenuhi kebutuhan komunikasi formal dan informal, sejumlah unsur BJ diserap untuk memberikan kecukupan arti semantis. Kemampuan kata mengungkap, menjelaskan, menggambarkan, memerikan, melukiskan, atau menyatakan gagasan atau obyek secara utuh merupakan properti tersendiri bagi kata itu (Marcellino, 1994). Peminjaman unsur bahasa terjadi bila sebuah kata lebih terperinci dalam menggambarkan sebuah konsep. Kata ajek misalnya, memang bisa dipadankan dengan kata tetap. Namun demikian,  kata ajek  juga menyatakan arti ‘teratur’ dan ‘tidak berubah’. Demikian pula kata apik yang tidak hanya berpadanan dengan kata bagus. Kata apik juga menyatakan arti bagus dan halus (tentang hasill pekerjaan, dandanan); rapi; bersih (tt perawatan dsb)’.


2.2 Kategori Kedua: Penyerapan kata-kata yang tidak ada padanannya di dalam bahasa Indonesia

            Kosakata bahasa Jawa sangat kaya sehingga sering lebih efektif untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang tidak dimiliki bahasa Indonesia. Banyak kata BJ yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, kata-kata BJ mudah diserap oleh bahasa Indonesia. Masuknya unsur serapan BJ yang semacam itu adalah untuk mengisi kekosongan kosakata BI.
            Bahasa Jawa memiliki kosakata kekerabatan yang lebih terperinci. Beberapa di antaranya yaitu besan ‘orang tua dari menantu (baik menantu laki-laki maupun perempuan)’; bude 1 kakak perempuan ibu atau ayah; 2 panggilan untuk kayak perempuan ibu atau ayah’ dan mindoan ’anak saudara sepupu ayah atau ibu; saudara satu cicit’ diserap karena tidak ada padanannya di dalam bahasa Indonesia.
            Bahasa Jawa juga memiliki banyak kata yang berhubungan dengan anggota tubuh, misalnya posisi tubuh, gerak atau tindakan, penyakit, dan keadaan yang berhubungan dengan anggota tubuh tertentu. Kosakata semacam itu juga masuk ke dalam kategori kedua yaitu penyerapan kata-kata yang tidak ada padanannya di dalam bahasa Indonesia. Contohnya adalah sebagai berikut.

ANGGOTA TUBUH
PENYAKIT/TIDAK NORMAL
GERAK/TINDAKAN
kepala

melengos ‘memalingkan muka (tidak sudi melihat dsb); membuang muka’
celingukanmenoleh ke kiri dan ke ka-nan karena kebingungan atau karena ada sesuatu yg dicari’
hidung
bindeng ‘bersuara sengau’,


pesek ‘rata, pipih’
pilek ‘sakit (demam) dengan banyak mengeluarkan i-ngus (biasanya disertai ba-tuk-batuk kecil); selesma

mata
belek ‘kotoran mata’
kelilipan ‘kemasukan kelilip’
merem ‘menutup mata’
melek ‘membuka mata’
mendelikterbuka lebar-lebar; membe-lalak; melotot’
jelalatan ‘melihat ke mana-mana de-ngan liar’
mulut
perot ‘pencong’
domblong memandang terheran-heran dengan mulut terbuka’
mangap ‘membuka mulut; menganga’
bibir
dower ‘bibir tebal dan menonjol ke depan’

gigi
gingsul ‘keadaan tumbuh ti-dak sejajar dengan yg lain’

pusar
bodong ‘tersembul pusarnya’

pantat
tepos ‘pipih kurang berisi (tt pantat)

tangan

menggendhong  ‘mendukung di bela-kang (di pinggang)’
membopong ‘membawa anak dengan kedua belah tangan di dada’
menyunggi ‘membawa barang dengan cara meletakkan barang tsb di atas kepala; menjunjung’
menabok ‘memukul (kepala dsb) de-ngan telapak tangan’
menggitikmemukul ( mencambuk ) de-ngan lidi atau rotan yg kecil dsb’
kulit
panu ’noda atau bercak-ber-cak putih pada kulit manu-sia (biasanya terasa gatal kalau berpeluh’
gudik ’kudis’
kadas ’kurap; penyakit kulit yang disebabkan oleh ja-mur’
kapalan ‘mengalami penebal-an dan pengerasan (ten-tang kulit, telapak tangan, telapak kaki, dsb)

tubuh
cebol ‘pendek sekali, katai’

mendeprok ‘mendudukkan diri atau ter-duduk di lantai karena terlalu capai dsb)’
menggeblak ‘jatuh terlentang (jatuh ke be-lakang) hingga kepala bagian belakang menyentuh tanah’
kaki

jegang duduk  dengan  salah satu ka-ki  terlipat  dengan posisi lutut ter-arah  ke atas (biasanya untuk meno-pang  lengan)’
serimpet, keserimpet ‘tersaur kakinya; terjerat (terbelit) kakinya’

Kosakata yang berhubungan dengan peralatan atau benda-benda tertentu, dan makanan berikut ini berasal dari BJ.
     
anglo
‘perapian ( dapur ) kecil dengan arang sebagai bahan bakarnya’


andong
‘kereta kuda sewaan seperti dokar atau sado beroda empat (di Yogyakarta dan Surakarta)’


arit
1. pisau bergagang yg bentuknya melengkung, dipakai untuk memotong rumput, padi, dsb; sabit; 2. pisau penyadap’


cungkup
bangunan beratap di atas makam sbg pelindung makam ; rumah kubur’


dempul
bahan penutup lubang pada kayu dsb, dibuat dari kapur dan minyak cat; gala-gala’


gedek
anyaman yang terbuat dari bilah-bilah bambu untuk dinding rumah’


gembok
induk kunci’


gerabah
alat-alat dapur (untuk masak memasak dsb) yang dibuat dari tanah liat yang kemudian dibakar (msl kendi, belanga)’


tiwul
‘panganan yang terbuat dari tepung gaplek diberi gula sedikit, kemudian dikukus, dapat dimakan bersama kelapa parut yang telah diberi garam sedikit’


wajik
penganan terbuat dr campuran ketan, gula, kelapa, dan dipotong ber-bentuk segi empat, jajaran genjang, dsb)’



Sejumlah kata di dalam BI berasal dari onomatope BJ. Contohnya antara lain tokcer ‘langsung hidup (untuk mesin)’, cespleng ‘manjur (mujarab) sekali (tt obat-obatan)’,  byarpet menyala dan padam secara berulang-ulang (tt lampu atau listrik), gebrak ‘memukul meja, daun pintu dsb serempak dan keras-keras dengan pemukul berbidang lebar (misalnya dengan telapak tangan), cemplung ‘masuk (terjun) ke air)’. Di dalam BJ, kata gebrak atau lengkapnya mak gebrak merupakan tiruan bunyi suara memukul meja, amben dsb. Demikian pula kata cemplung atau lengkapnya mak cemplung adalah tiruan suara benda jatuh ke air.
Bahasa Jawa memiliki banyak kosakata yang berhubungan dengan sifat, karakter, tindakan, dan tingkah laku manusia. Kata-kata semacam ini umumnya mencerminkan budaya Jawa. Pada penyerapan kosakata semacam ini budaya Jawa yang tersimpan dalam kata-kata BJ juga ikut terserap ke dalam bahasa Indonesia, misalnya kata legowo. Kata ini dalam BJ lengkapnya adalah lila legawa yang dapat diterjemahkan dengan ’rela’ dan ’ikhlas’. Dalam budaya Jawa, lila legawa menggambarkan sikap seseorang yang lapang dada, terbuka hatinya, berani kehilangan, dan tidak menyesali kerugian yang menimpanya (Purwadi, 2005). Kata ini sering dipakai untuk menasihati seseorang yang turun dari jabatannya atau kehilangan jabatannya. Lila legawa adalah sifat terpuji. Kata ini menjadi populer saat Suharto turun dari jabatannya sebagai presiden Indonesia. Berikut di bawah ini adalah contoh kata-kata lain yang termasuk dalam kategori ini

sungkan
1 malas mengerjakan sesuatu; enggan; 2 merasa tidak enak hati; 3 menaruh hormat; segan’


blak blakan
‘tidak ada yang ditutup–tutupi atau disembunyikan; tanpa tedeng aling–aling; terus terang; terbuka’


digdaya
’tidak terlukai oleh senjata apa pun; sakti; kebal’


pamrih
maksud yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi’


rikuh
‘malu-malu, canggung, segan-segan’


mengeyel
‘tidak mau mengalah dalam berbicara; ingin menang sendiri dalam berbicara’         


kagok
1 susah atau menjadi terhalang untuk melakukan sesuatu; 2 sulit melafalkan kata’


jor-joran
‘bertindak  unggul-mengungguli (lebih banyak  bersifat negatif)’


ceplas-ceplos
‘terus terang dan tidak berbelit–belit (tentang berbicara)’


ngoyo
‘memaksakan diri melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan kemampuan, kondisi, dan waktu’


urakan
‘tidak mengikuti aturan dan bertingkah laku seenaknya’


sumeh
‘murah senyum kepada setiap orang’


sungkawa
‘sedih hati; duka cita’


kerasan
merasa senang, nyaman, dan tahan tinggal di suatu tempat; betah’


manut
    manutan
’suka menurut, patuh’
’penurut’

            Sejumlah kosakata dan ungkapan khusus juga terserap beserta konsep yang mencerminkan budaya Jawa. Contohnya adalah sebagai berikut. [1]
ati-ati
Di dalam KBBI ati-ati diberi arti ‘berhati-hati’. Kata ini berasal dari BJ ngati-ati. Arti kata ini tidak dapat disamakan begitu saja dengan kata berhati-hati. Dalam budaya Jawa, sikap ngati-ati adalah keputusan pikiran dan perasaan yang berusaha untuk menghindari risiko terburuk baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Ketika seseorang menjadi pemimpin ngati-ati dalam mengambil kebijakan adalah sesuatu yang sangat penting agar tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

lengser
Kata lengser yang menyatakan arti ‘turun dari jabatan’ atau ungkapan lengser keprabon menjadi populer saat Suharto turun dari jabatannya sebagai presiden Indonesia. Di dalam BJ ungkapan lengkapnya adalah lengser keprabon madeg pandhita. Ungkapan ini merupakan konsep suksesi Jawa yang mengambil referensi dari cerita wayang. Ungkapan lengser keprabon madeg pandhita menggambarkan jiwa besar seorang raja yang mengundurkan diri dari tahtanya, lalu menjadi seorang pendeta yang bijaksana dan tinggal di pertapaan.  Contoh pemakaian ungkapan lengser keprabon dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Peristiwa lengser keprabonnya pak Harto yang menyisakan trauma sosial, politik, dan ekonomi hingga hari ini, hanyalah sebuah misal. (Kompas, 15 April 2007).


tata krama
Di dalam KBBI kata tata krama  diterjemahkan ’adat sopan santun; basa-basi’. Di dalam budaya Jawa kata tata krama  berkaitan dengan cara mengerjakan sesuatu agar pantas dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Hal-hal yang ada hubungannya dengan perjalanan hidup perlu berpedoman pada tata krama. Perjalanan hidup manusia secara bersama-sama akan harmonis hanya bila diatur dengan tata krama.

unggah-ungguh
Di dalam KBBI kata unggah-ungguh diberi arti ’tata krama; sopan santun’. Konsep yang terkandung di dalam kata ini berkaitan dengan hubungan antarmanusia yang memperhatikan empan papan ‘waktu dan tempat’, posisi, status, jabatan, dan kedudukan seseorang. Memperlakukan seseorang sesuai dengan kedudukan, status, derajat, dan martabatnya merupakan tindakan yang mulia, dan dianggap mempunyai unggah-ungguh. Hal ini juga tercermin di dalam bahasa Jawa yang memiliki beberapa tingkat tutur (unggah-ungguhing basa).

aji mumpung
Secara harfiah aji mumpung berarti ‘ilmu mumpung’. Di dalam KBBI aji mumpung diartikan 1 penggunaan “senyampang; selagi” sebagai senajta andalan; 2 pemanfaatan situasil dan kondisi untuk keperluan yang menguntungkan diri sendiri selagi memegang jabatan yang memungkinkan adanya peluang untuk hal itu’. Di dalam budaya Jawa biasanya orang dinasihati untuk tidak aji mumpung atau jangan aji mumpung untuk hal-hal berikut ini.
1. mumpung kuat lan gagah, banjur tanpa arah-arah.
Artinya memanfaatkan kesempatan selagi kuat dan berkuasa, sehingga bertindak tanpa pedoman.
2. mumpung pinter banjur sembrana nerak wewaler
   Artinya memanfaatkan kesempatan karena merasa paling pandai, sehingga bertindak semaunya sendiri dan melanggar peraturan yang berlaku.
3. mumpung kuwasa sapa sira sapa ingsun
   Artinya memanfaatkan kesempatan saat berkuasa, sehingga tidak ingat lagi kepada teman dan saudara.
4. mumpung sugih, banjur nyenyamah karo sing ringkih
   Artinya memanfaatkan kesempatan karena kaya raya, sehingga bertindak angkara murka terhadap mereka yang miskin.
5. mumpung menang, banjur nyawiyah hak liyan kanthi sewenang-wenang
   Artinya memanfaatkan kesempatan saat memperoleh kemenangan, lalu menginjak-injak hak orang lain secara sewenang-wenang.

Berikut di bawah ini adalah contoh lain yang masuk dalam kategori ini.
abangan
’golongan masyarakat yang menganut agama Islam, tetapi tidak melaksanakan ajaran secara keseluruhan’


kejawen
‘segala yg berhubungan dng adat dan kepercayaan Jawa’


abdi dalem
‘pegawai keraton’


gono-gini
1 harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri; 2 anak yang hanya dua bersaudara, laki-laki dan perempuan (dari satu ayah dan satu ibu)


adhem ayem
‘sejuk dan tenang tenteram’


gonjang-ganjing
‘berguncang-guncang keras’


Kata-kata lain yang juga masuk ke dalam kategori kedua ini adalah anu, deg-degan, cikal bakal, getok tular, wanti-wanti, wira-wiri, cawe-cawe, kalang kabut, selentik, selenting, sembrono, semburat.




3.     Perubahan makna pada proses penyerapan unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia

Sejumlah unsur BJ yang setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia mengalami perubahan makna. Ada perubahan yang berisifat meluas, menyempit, ada pula perubahan yang sifatnya total. Sejumlah kata BJ yang diserap ke dalam BI tidak lagi digunakan dalam makna referensialnya, tetapi telah diberi makna baru yang bersifat metaforik. (Suwito, 1987).

3.1 Perubahan makna yang menyempit
Kata anggur, angker, ancar-ancar, apes, arisan, cespleng adalah contoh kata-kata yang maknanya menyempit.

anggur
Di dalam bahasa Indonesia, kata dasar anggur mengalami proses morfologis menjadi kata menganggur yang menyatakan arti ‘tdk melakukan apa-apa; tdk bekerja’. Jadi kata ini hanya menjelaskan keadaan manusia. Di dalam bahasa Jawa, kata dasar anggur yang mengalami proses morfologis menjadi kata nganggur menyatakan arti ’1. tidak punya pe-kerjaan; tidak bekerja; 2. tidak ada yang memakai (utk peralatan dsb)’. Jadi selain menjelaskan keadaan manusia, kata nganggur juga dipakai untuk menjelaskan benda.

angker
Di dalam KBBI arti kata angker adalah ‘1. tampak seram dan tidak semua orang dapat menjamahnya karena dianggap berhantu; 2. tampak menyeramkan (menakutkan)’, sedangkan di dalam kamus bahasa Jawa kata angker berarti ‘1. tidak boleh dimasuki/dilewati manusia karena ada makhluk halusnya (utk tempat, pohon); 2. mudah marah’. Arti kedua yaitu mudah marah’ tidak terdapat di dalam BI.

ancar-ancar
Kata ancar-ancar berarti ‘perkiraan (waktu, tempat) untuk melakukan sesuatu’. Kata ini berasal dari bahasa Jawa ancer-ancer yang artinya ‘1. tanda penunjuk jalan dsb; 2. segala sesuatu yang digunakan sebagai petunjuk; 3. perkiraan yang akan terjadi’. Hanya arti ketiga yang diserap ke dalam bahasa Indonesia.
apes
Di dalam bahasa Indonesia, kata apes diartikan ‘celaka; sial; tidak beruntung’, sedangkan di dalam bahasa Jawa, selain menyatakan arti ketidakberuntungan atau kesialan, kata apes juga berarti ‘ringkih (tidak kuat menanggung sesuatu)’. Arti ini tidak ada di dalam bahasa Indonesia.

arisan
Di dalam bahasa Jawa, kata arisan juga menyatakan arti ‘tolong menolong atau gotong royong (saat pernikahan atau membangun rumah dsb)’. Arti ini tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia.

cespleng
Di dalam bahasa Indonesia kata cespleng  berarti ‘manjur (mujarab) sekali ( tentang obat-obatan dsb)’. Arti kata ini mengalami penyempitan karena di dalam bahasa Jawa kata cespleng juga menyatakan arti ‘sangat nikmat (untuk rasa)’. Arti ini tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia.

3.2 Perubahan makna yang meluas
Kata ampuh, anjlok, ancang-ancang, jagal, jajan, pondok  adalah contoh kata-kata yang maknanya meluas.

ampuh
Di dalam bahasa Jawa, kata ampuh hanya mempunyai satu arti yaitu ‘punya kekuatan lebih (untuk orang, senjata, doa dsb)’, sedangkan di dalam bahasa Indonesia, kata ampuh mempunyai tiga arti yaitu ‘1 mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa; bertuah; sakti; 2  manjur; mujarab; 3 mempunyai daya pengaruh yang luar biasa’.

anjlok
Di dalam bahasa Jawa, kata anjlok  mempunyai dua arti yaitu ‘1. meloncat turun; 2. turun banyak (utk harga)’, sedangkan di dalam bahasa Indonesia ada 4 arti yaitu ‘1. meloncat ke bawah dari tempat ketinggian (dengan posisi kedua kaki sebagai tumpuan; 2. turun dari posisi semula  (tentang jembatan, bangunan, dsb); 3. keluar dari rel (tentang kereta api); 4. turun banyak dalam waktu yg sangat singkat (tt harga, berat badan, kesehatan orang, dsb)’. Hanya arti kedua dan keempat yang terdapat di dalam bahasa Jawa.

ancang-ancang
Di dalam bahasa Jawa, kata ancang-ancang berkategori verba. Kata ini menyatakan arti ‘bersiap sebelum melakukan tindakan’. Di dalam bahasa Indonesia, kata ancang-ancang berkategori nomina. Arti kata ancang-ancang adalah ‘1. persiapan hendak berbuat sesuatu; langkah akan melompat dsb; 2. gerakan permulaan untuk mendapat kecepatan pada waktu akan melakukan suatu bentuk gerakan (lompat jauh, tolak peluru, lempar lembing, dsb). Arti kedua tidak ada di dalam BJ. Dengan afiks ber- kata ini berubah menjadi verba yang menyatakan arti ‘bersiap-siap mengambil langkah awal’.

jagal
Kata jagal di dalam bahasa Jawa hanya menunjuk pada arti ‘orang yang menyembelih hewan’. Di dalam bahasa Indonesia, kata jagal mengalami perluasan makna menjadi ‘1 orang yang bertugas menyembelih (memotong) binatang ternak (seperti lembu, kambing, kerbau) di rumah pemotongan hewan; pembantai; 2 orang yang berusaha di bidang potong-memotong hewan atau sebagai agen penjual daging hewan; 3  membunuh (manusia) secara kejam (dengan dipotong-potong dsb)’

jajan
Kata jajan di dalam bahasa Jawa bisa berkategori nomina maupun verba. Sebagai nomina kata jajan berarti ’makanan kecil yang dijual’, sedangkan sebagai verba kata jajan menyatakan arti ’membeli makanan’. Di dalam bahasa Indonesia, kata jajan yang berkategori verba mempunya dua arti yaitu ’membeli makanan (nasi, kue  dsb)  di warung’ dan  ‘bermain perempuan; pergi  ke tempat wanita lacur’.

pondok
Di dalam bahasa Jawa, kata pondok mempunyai arti ‘1 rumah yg ditempati kadang kala; 2 gubuk (di hutan dsb)’. Akan tetapi di dalam bahasa Indonesia, makna kata ini meluas menjadi ‘1 bangunan untuk tempat sementara (seperti yang didirikan di ladang, di hutan, dsb); teratak; 2 rumah (sebutan untuk merendahkan diri); 3 bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik dan beratap rumbia (untuk tempat tinggal beberapa keluarga); 4 madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam)’

3.3 Pergeseran makna
            Sejumlah kata yang berasal dari BJ mengalami pergeseran makna yang cukup mendasar. Memang beberapa kata di antaranya masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sudah jauh sekali. Misalnya, kata aleman di dalam BJ berarti ‘senang dipuji’. Di dalam BI, kata aleman berarti ‘manja; kolokan’. Contoh lain adalah kata pramugari yang berarti ‘karyawati perusahaan pengangkutan umum (udara, darat, dan laut) yg bertugas melayani penumpang’. Makna asal kata ini adalah ‘pemuka; penuntun’. Di dalam bahasa Indonesia, kata antek memiliki arti yang negatif. Di dalam KBBI kata ini diartikan ‘orang (negara) yang diperalat atau dijadikan pengikut orang (negara) lain; kaki tangan; budak’. Kata antek berasal dari kata anthek yang berarti ‘orang yang melayani atau membantu (tukang kayu dsb)’. Kata apek di dalam bahasa Indonesia dihubungkan dengan bau benda lapuk yang sudah tersimpan lama. Di dalam BJ kata apek menyatakan arti ‘bau tidak sedap yang berasal dari keringat, baju kotor, dsb.’
            Bahasa Jawa memiliki banyak kata yang berada pada medan makna yang sama, misalnya seperangkat leksem yang dipayungi superordinat nggawa ‘membawa” (nggendhong, mbopong, nyunggi, nyangking, ngempit) dan nyolong ‘mencuri’ (nyopet, ngutil, ngrampog, nggarong). Sebagian dari kata-kata tersebut diserap oleh BI. Namun demikian, jika kita berpedoman pada penjelasan makna yang tertera di dalam KBBI, makna kata-kata tersebut dapat dikatakan bergeser. Misalnya, kata nggendhong dalam BJ berarti membawa sesuatu di punggung (baik dengan kain ataupun tanpa kain)’, sedangkan di dalam BI kata nggendhong juga berarti membawa di pinggang (tidak hanya di punggung).
            Penjelasan kata-kata yang bermakna konsep ‘mengambil milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya’ di dalam KBBI memerlukan pemahaman medan makna asal kata-kata tersebut. Misalnya, kata mencopet dan mengutil  (berasal dari BJ nyopet dan ngutil) diberi makna sebagai berikut.
mencopet mencuri (barang yg sedang dipakai, uang dl saku, barang yg diperkedaikan, dsb) dgn cepat dan tangkas’

mengutil ‘1 mengambil (memakan atau  menggigit)  sedikit-sedikit;  2 mengambil atau melebihkan barang belian  tanpa sepengetahuan  penjual’

Penelitian yang dilakukan Sukardi (1994) tentang perian semantik verba bahasa Jawa yang bermakna konsep ‘‘mengambil milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya’ dapat dijadikan acuan dalam menjelaskan arti mencopet dan mengutil. Berdasarkan deskripsi arti kedua kata itu di dalam KBBI, lebih lanjut Sukardi menjelaskan masalah itu sebagai berikut.
Kalau barang yang diambil berupa barang yang sedang dipakai, kurang tepat. Sebab dalam bahasa Jawa leksem yang bermakna mengambil barang yang sedang dipakai disebut nyebrot ‘menjambret’. Sedangkan barang yang diambil berupa barang yang sedang dipergadaikan dalam bahasa Jawa disebut ngutil ‘mengutil’. Leksem nyopet ‘mencopet’ objek yang diambil umumnya uang atau barang berharga di dalm saku atau tas yang sedang  dibawa pemiliknya. Leksem nyopet ‘mencopet’ mempunyai komponen makna sebagai berikut. Tindakan dilakukan oleh manusia laki-laki atau perempuan; dilakukan secara diam-diam menunggu kelengahan pemilik; dilakukan pada siang hari; jumlah pelaku yang mengambil seorang; objek yang diambil berupa barang berharga atau uang di dalm saku atau tas yang sedang dibawa pemiliknya; umumnya dilakukan di tempat ramai (pasar, keramaian, kendaraan, dan sebagainya).

Berdasarkan apa yang tertera di dalam KBBI, Sukardi mengatakan bahwa pada penjelasan subentri mengutil kurang tepat. Di dalam BJ, leksem yang mengandung makna melebihkan barang yang dibeli tanpa sepengetahuan penjualnya adalah leksem ngunthet. Berdasarkan pengertian umum leksem ngutil sama dengan leksem nyopet. Lebih lanjut Sukardi menjelaskan bahwa perbedaan keduanya terletak pada besar kecilnya nilai uang atau barang yang diambil. Pada nyopet, barang atau uang yang diambil bernilai tinggi atau besar, sedangkan ngutil barang yang diambil berupa barang-barang kecil.
             
3.4 Perubahan makna menjadi bersifat metaforik.
           
            Sejumlah kata BJ yang terserap ke dalam bahasa Indonesia mengalami perubahan makna yang bersifat metaforis.  Misalnya, ajang yang makna asalnya adalah ‘tempat makanan (piring dsb); tempat untuk melaksanakan rapat dsb’ tidak lagi digunakan makna referensialnya. Kata ajang lebih sering digunakan untuk arti ‘medan; tempat (untuk bertempur dsb’. Makna baru ini bersifat metaforik. Demikian pula kata alot  yang makna asalnya adalah ‘liat (untuk daging, dan yang dimakan)’. Kata alot telah diberi makna baru yang bersifat metaforik yaitu ‘tidak lancar, sukar menemukan pemecahan (tentang perundingan dsb)’. Kata-kata lain yang mengalami penambahan makna metaforik adalah sebagai berikut.

ambruk
Makna asal kata ambruk adalah ‘1. rubuh (untuk pohon dsb ); 2. bangkrut’. Kata ini mendapat penambahan makna metaforik ‘jatuh sakit’.

bejat
Kata ini berasal dari kata bejad yang berarti ’rusak dan lepas dari sambungannya (tt bakul, kurungan dsb)’. Makna metaforik kata bejat yaitu ‘rusak (tentang akhlak budi pekerti); buruk (kelakuan)lebih sering digunakan di dalam bahasa Indonesia.

caplok
Di dalam BJ, kata caplok yang mengalami proses morfologis menjadi nyaplok berarti ‘menangkap lalu dimasukkan ke dalam mulut dan dimakan’. Di dalam bahasa Indonesia kata mencaplok mendapat arti metaforik ‘mengambil milik (hak) orang; menyerobot, merampas, merebut; menguasai; menghaki; mengambil (negeri atau daerah orang lain)’.


ciduk
Makna asal kata ciduk adalah sendok besar dsb yang digunakan utk mengambil benda cair atau lembut’. Kata ini mengalami proses morfologis menjadi nyiduk yang berarti ‘mengambil dengan ciduk’. Kata menciduk di dalam bahasa Indonesia sering digunakan dalam makna metaforis ‘mengambil untuk ditahan (tentang alat negara, polisi)’.

gelontor
Kata gelontor berasal dari BJ glontor . Kata ini mengalami proses morfologis menjadi ngglontor yang berarti 1 menghanyutkan; menyiram dengan air; 2 deras sekali (untuk air)’. Di dalam BI, kata mengglontor mendapat arti metaforis  ‘mengeluarkan uang banyak-banyak’.
kiprah
Kata kiprah  berarti ‘gerakan cepat dan dinamis tarian Jawa dl pertunjukan wayang orang dsb (biasanya ditarikan seorang laki-laki)’. Di dalam bahasa Indonesia kata kiprah lebih sering digunakan untuk arti ‘derap kegiatan’.

tuntas
Kata tuntas yang bermakna asal ‘diperas sampai habis airnya’, lebih sering digunakan untuk arti metaforik ‘selesai secara menyeluruh; sempurna (sama sekali)’.

Kata-kata lain yang juga mendapat tambahan arti metaforik adalah amblas, babat, kecipratan, copot, corong, mendompleng, ganyang, gembos, gondol, terjungkal.

4.     Perubahan bentuk kata pada proses penyerapan unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia

Pada bagian ini akan dijelaskan proses penyerapan unsur BJ ke dalam BI ditinjau dari aspek gramatikalnya.
Sebagaimana diketahui, sebagian besar verba BJ ada berlimpah dalam bentuk polimorfemis. Keverbaan sebuah kata baru dimiliki setelah mengalami proses morfologis. Kata domblong yang di dalam BJ merupakan bentuk dasar yang prakategorial[2], di dalam BI berkategori verba. Di dalam BJ, domblong berkategori verba setelah mengalami proses afiksasi menjadi ndomblong. Proses yang sama juga terjadi pada kata kapurancang yang merupakan kata prakategorial. Kata ini harus melewati proses morfologis menjadi ngapurancang untuk menjadi verba yang menyatakan makna sikap hormat seseorang satt berbicara dengan posisi kedua tangan ditumpukkan di perut bagian bawah. Di dalam BI, kapurancang berkategori nomina.
Pada proses penyerapan unsur BJ ke dalam BI, ada sejumlah kata yang mengalami perubahan kategori. Misalnya, kata ancang-ancang yang asalnya berkategori verba, berubah menjadi nomina di dalam bahasa Indonesia. Demikian pula kata domblong yang di dalam BJ merupakan bentuk dasar yang prakategorial, di dalam bahasa Indonesia berkategori verba. Di dalam BJ, domblong berkategori verba setelah mengalami proses afiksasi menjadi ndomblong. Proses yang sama juga terjadi pada kata kapurancang yang merupakan kata prakategorial. Kata ini harus melewati proses morfologis menjadi ngapurancang untuk menjadi verba yang menyatakan makna sikap atau posisi tangan. Di dalam KBBI, kapurancang berkategori nomina.
            Sejumlah kata BJ diserap dalam bentuk kata jadiannya. Misalnya, kata majemuk cespleng (gabungan onomatope ces dan pleng), jitu (kependekan dari siji dan pitu), runtang-runtung, caplas-ceplos. Contoh lainnya adalah kata pendadaran yang berarti ‘pelatihan; tempat pelatihan’ yang juga diserap secara utuh sebagai kata jadian. Bentuk dasar kata ini, yaitu dadar, tidak masuk ke dalam BI. Kebetulan bentuk dan makna afiks paN-an di dalam BJ hampir sama dengan afiks peN-an di dalam BI. Tidak demikian halnya dengan arti afiks –an yang memiliki perbedaan fungsi dan arti yang cukup jelas. Di dalam BJ, afiks –an termasuk afiks yang memusat sebagai bagian dari verba. Jadi, kata aleman, jelalatan, jenggotan, grenengan, rebutan, jor-joran yang diserap oleh BI secara utuh, merupakan kata yang berkategori verba karena di dalam BJ kata-kata tersebut berkategori verba. Sufiks –an pada kata jenggotan berpadanan dengan prefiks ber- dalam BI, sedangkan pada kata rebutan berpadanan dengan konfiks ber-an. Di dalam tata bahasa Indonesia, sufiks –an tidak menjadi bagian dari afiks pembentuk verba. Namun demikian, pada KBBI, kata syukuran dicatat sebagai kata berkategori verba (untuk arti kedua).
            Ada unsur BJ yang diserap secara tidak utuh, misalnya tedeng aling-aling. Di dalam KBBI, tedeng aling-aling diartikan ‘sesuatu yang dipakai untuk menutupi rahasia (perbuatan buruk dsb)’. Bentuk ini tidak lazim digunakan di dalam BJ. Ungkapan yang biasa dipakai di dalam BJ secara lengkapnya adalah tanpa tedheng aling-aling yang secara harfiah berarti ‘tanpa perisai penutup’. Ungkapan ini menyatakan arti ‘mengutarakan isi hatinya dengan terbuka; mengemukakan pemikirannya dengan terus terang tanpa ada yang ditutup-tutupi’.[3]
            Aspek gramatikal lain yang terjadi pada proses penyerapan unsur BJ ke dalam BI dapat dilihat pada penyerapan kata ecer, mengecer ‘menjual/membeli secara sedikit-sedikit atau satu-satu; ketengan’, Di dalam makna asalnya, terdapat perbedaan antara kata ngecer ‘membeli secara sedikit–sedikit’ dan ngecerake ‘menjual secara sedikit-sedikit’.

5.     Penutup

            Apa yang dipaparkan di atas belum menjelaskan proses penyerapan unsur BJ ke dalam BI secara tuntas. Proses penyerapannya sendiri masih terus berlangsung. Masih ada kata-kata BJ yang sering didengar dan digunakan di dalam konteks bahasa Indonesia belum dicatat di dalam KBBI, misalnya kata ndeso dan mak nyus yang menjadi sangat populer akhir-akhir ini. Kedua kata tersebut dipahami dan sering digunakan oleh penutur bahasa Indonesia termasuk yang tidak berasal dari Jawa. Pemahaman bentuk asal dan makna asal kata-kata serapan selayaknya digunakan dalam menjelaskan arti di dalam kamus.


Daftar Pustaka

Anderson, Benedict. 1966. “The Language of Indonesian Politics”, Indonesia I, no.1 (April). 

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Hariwijaya, S.S. 2004. Kamus Idiom Jawa. Jakarta: Eska Media.

Muhadjir. 1988. ”Kecenderungan Baru Perkembangan Kosakata dan Sistem Pembentukan Kata Bahasa Indonesia”, Pertemuan Linguistik Bahasa dan Budaya Atma Jaya Kedua belas. Jakarta: Unika Atma Jaya.

Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters.

Prawiroatmodjo, S. 1980. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: CV Haji Masagung.

Purwadi, Dr, M.Hum dkk. 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media.
Robson , S., dan Singgih Wibisono. 2002. Javanese-English Dictionary. Hongkong: Periplus.

Schmidgall-Tellings, A. Ed., dan A.M. Stevens. 2004.  Kamus Lengkap Indonesia-Inggris. Athens: Ohio University Press.

Sukardi Mp. 1994. ”Perian Semantik Verba Bahasa Jawa yang Bermakna Konsep Mengambil Milik Orang Lain Tanpa Persetujuan Pemiliknya”, Widyaparwa, Nomor 43, Oktober 1994.

Sudaryanto, dkk. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Suwito. 1987.   Berbahasa dalam Situasi Diglosik. Disertasi Universitas Indonesia.

Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa. Yogyakarta: Kanisius










* Makalah disampaikan pada Seminar Penyerapan Kosakata Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia di FIB UI, 2 Mei 2007Seminar Penyerapan Kosakata Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia pada tanggal 2 Mei 2007 di FIB UI disajikan pada Seminar Penyerapan Kosakata Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia pada tanggal 2 Mei 2007 di FIB UI pada Seminar Penyerapan Kosakata Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia pada tanggal 2 Mei 2007 di FIB UI
                                                                                                                                                                                                                                            
[1] Penjelasan arti kata dikutip dari Hariwijaya (2004) dan Purwadi (2005)
[2] Istilah bentuk dasar yang prakategorial mengikuti Sudaryanto (1991). Istilah ini mengacu pada bentuk-bentuk calon kata.
[3] Arti ungkapan tanpa tedheng aling-aling dikutip dari Hariwijaya (2004)

Post a Comment

Powered by Blogger.