Lentera menyala perlahan, lalu kupadamkan dengan tiupan. Kunyalakan kembali agar dapat menikmati sinarnya yang perlahan merambat ke seluruh ruang, lalu kembali kupadamkan dengan tiupan. Setelah itu, aku diam. Menunggu, terpaku, menatap langit yang hari ini menyajikan bintang sebagai hidangan.
Pendar-pendar bintang terasa berbeda-beda tiap detiknya. Merah, biru, hijau, putih, dan semakin memfokuskan mata untuk melihatnya semakin jelas perubaha-perubahan itu. "Sungguh luar biasa ia. Di tengah gelapnya angkasa mampu memberikan sinarnya yang begitu indah meski hanya setitik. Mampu menunjukkan identitasnya, meski belum pernah dijamah, bahkan teramat jauh dari tangan-tangan kotor manusia yang penuh lumpur. Seperti aku ini. Ya, aku lumpur."
Terdengar beberapa gadis kecil berkeliaran di luar sana, tertawa, bercengkrama, menunjukkan kegenitan mereka yang mulai tumbuh seiring dengan mulainya masa remaja mereka. Padahal, ketika aku sudah mengenal indahnya bunga, mereka masih ingusan.
Namun, seiring waktu berjalan mereka sudah tumbuh menjadi remaja. Itu juga menandakan aku semakin dekat dengan masa akhir. Masa di mana semua akan berakhir. Terbisik lagi seiring angin yang sejenak melintas, akan sesuatu yang kuminta dari Tuhan.
"Belum ada jawaban dari Tuhan... belum ada kabar dari siapa atau apa pun. Mungkin karena aku tidak memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang secara implisit telah ditunjukkan-Nya?"
Tak merasa bertenaga, kusandarkan punggungku pada dinding batu ini. Kulapangkan kakiku dan membiarkannya menjulur, sebab sejak tadi aku sudah menekuknya hingga aliran darahku sempat terhenti dan menghilangkan rasa.
Lagi dan lagi, keretek serta sebatang korek jadi pengobat sunyi, meski kadang merasa sangat bodoh mempercayakan semua pada nyala api hanya sampai dedauan itu terbakar habis. Tapi aku tetap menikmatinya, sebab hanya inilah satu-satunya sahabat sejati.
Kusulut keretek itu, namun ia tak mau terbakar. Aku mulai tersenyum sebab ketika itu terjadi maka seni dari kretek mulai kembali tersaji. Kalau tidak ada batang besar di dalamnya, pasti daunnya tidak terpaket rapi. Tapi itu mungkin. Itu hanya teori sendiri.
Namun, senyum itu hilang ketika bayangan kembali datang. Bayangan yang selalu saja hadir di saat yang tidak tepat.
"Mungkinkah aku harus mengetahui diriku sendiri agar aku dapat mengenal dan mendapatkan pertolongan-Nya?" sunyi merambat di antara angin yang bertiup dingin ketika pikiran kembali mengutarakan keinginannya.
Burung malam mulai berkicau, berkelebat dalam gelap lalu lenyap. Hanya suaranya yang tertinggal, itu pun lambat laut tertelan senyap, menyisakan aku yang tak termenung, tak melamun, tetapi tidak juga bergerak melangkahkan penopang raga.
Mencari kilasan pikiran dan menjentikan jari lah yang kulakukan. Meski sekali-sekali menekankan jari itu di antara kedua mata.
"Hitam tak bisa disamakan dengan gelap. Putih tak dapat dipertukarkan dengan cahaya. Hitam dan putih berbeda dengan cahaya dan kegelapan. Hitam dan putih hanyalah warna yang akan terlihat jika terang hadir. Jika dalam kegelapam, putih pun akan mejadi hitam dan hitam akan tetap hitam. Begitu juga dengan warna lainnya," tiba-tiba besitan pikiran itu muncul.
"Mungkinkah ini jawaban? Ketika aku berpikir gelap, maka aku tidak akan melihat apa pun. Tidak akan mengetahui yang mana hitam dan yang mana putih, atau warna lainnya. Sebab, telah menjadi sifat gelap untuk menelan seluruh warna."
"Tapi... gelap adalah suatu keadaan di mana cahaya pergi. Berarti gelap dan cahaya berada dalam satu ruang, bilamana cahaya ada maka gelap akan menghilang, dan begitu juga sebaliknya," kataku melanjutkan.
"Tidak... tidak seperti itu! Kalau teorimu seperti itu, cahaya dan gelap jadi berseberangan. Seharusnya, mereka saling bekerja sama dan akan selalu hadir bersama-sama. Mereka adalah dua di dalam satu," ralat sebuah suara yang muncul dalam pikiran, meski sama sekali tidak terdengar sedikitpun dengan telinga.
"Maksudmu?" tanyaku.
"Cobalah renungkan. Ketika mentari menyentuhkan cahayanya pada benda-benda yang ada di bumi, maka akan terbentuk daerah gelap di belakang benda itu, yang disebut bayangan. Berkurangnya cahaya berbanding lurus dengan bertambahnya daerah gelap itu. Cahaya dan gelap adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di mana ada cahaya pasti ada kegelapan, di mana ada kegelapan pasti ada cahaya. Itu hukum alam. Jika ingin menghilangkan kegelapan, makan hilangkanlah cahaya. Dunia pun tidak akan pernah ada. Termasuk kamu," suara itu menjelaskan.
"Betul juga. Di mana ada kegelapan, di sana pula cahaya pasti ada. Seperti aku dan kamu. Aku gelap, kamu cahaya," kataku.
"Tidak seperti itu," jawabnya. "Yang mengatakan yang mana gelap atau cahaya itu hanya manusia. Bukan, aku. Aku hanya perpanjangan pikiranmu. Aku hanya imagi dari kehidupan. Duniamu dan duniaku berbeda meski sama-sama dalam satu ruang. Seperti cahaya dan gelap yang benar-benar ada," katanya melanjutkan.
Aku terdiam, tak menjawab. Tak ingin melanjutkan dialog yang seduah kuketahui jawaban selanjutnya. Sama seperti halnya ketika berada di sebuah diskusi, baik diskusi tatap muka atau melalui dunia maya, aku lebih memilih diam ketika arah jawabannya sudah pasti aku ketahui. Entah mengapa aku merasa tidak perlu jawaban dari orang lain untuk memperjelas jawaban yang kumiliki, sebab jawaban orang lain pasti dari orang lain pula yang mereka kutip dan utarakan kembali. Aku memang egois untuk tetap menjaga keorisinalan pikiranku dengan pemikiran-pemikiran lain yang belum tentu benar. Meski pemikiranku juga belum tentu benar.
Asap mennyembul dan memenuhi udara ruang. Tak terlihat dalam gelap, tapi terasa keberadaannya. Seperti ketika aku berdialog dengan sesuatu yang tak terlihat sosoknya dan tak terdengar pula suaranya. Tetapi, merasa yakin akan keberadaannya juga dialog itu.
"Aku merasa yakin hal itu benar-benar kulakukan, atau aku memang telah benar-benar gila. Tapi aku yakin aku tidak gila, mungkin hanya tergoda oleh angan dan bayang. Itu saja. Jadi jangan anggap aku gila, sebab menurutku setiap manusia memiliki kadar kegilaannya masing-masing. Yang tidak sejalan dengan pemikirannya pasti akan dianggap gila," tuturku entah pada siapa.
Aku rebahkan diriku ketika malam semakin tinggi. Tubuh nampaknya sudah tak berdaya melawan waktu. Istirahat sejenak agar esok dapat melanjutkan kembali lebih baik daripada menyelesaikan semuanya hari ini dan terhenti. Tapi...
"Jangan katakan tapi. Sudah banyak kata tetapi yang kau ujarkan di sini."
"Meski hidup tidak lebih baik daripada mati, hidup dapat memberikan harapan lebih, terutama dalam menentukan keberadaanmu nanti. Jika kamu tetap menyakini Tuhan."
Post a Comment