{facebook#https://www.facebook.com/tjari.tjari.102} {twitter#https://twitter.com/tjaritjariID} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}



Bidadari yang kutunggu di tengah malam dan hujan ternyata tak kunjung datang. Padahal aku telah memberikan sisa harapan yang kumiliki saat ini. Harapan terakhir yang kujaga dan kulindungi selama ini, cermin yang berisikan semangat. Tapi kini kembali pecah setelah lama aku mencoba menambal dan merangkainnya satu demi satu agara kembali menjadi utuh.

Demikian pula dengan angan, telah bercecer di tanah becek malam ini. Aku pasarah, diam, dan termenung.

"Mungkin dalam perjalanannya ia telah bertemu sinar yang indah, yang kemudian menarik perhatiannya untuk singgah. Di antara sinar itu, terlihatlah semua kemanisan yang menggoda hingga akhirnya menyisakan aku dalam kelupaan. Ruang di ujung lorong di mana kalbu perlahan menempa batu-batu kokoh untuk dimusnahkan," kataku dalam hati.

"Dan di sana pula suara-suara sumbang telah membunuh sosok diriku yang hadir dalam bayangannya, lalu menggantinya dengan sosok yang diinginkan suara sumbang itu. Yup, dengan begitu, aku pun mati dalam nyata dan bayangannya," lanjutku merenung.

"Kalau benar demikian, biarlah. Aku akan pulang dan kembali bermain bersama mimpi. Akan kubiarkan mimpi kembali membelaiku dengan lembut hingga aku bosan atau aku terhanyut di dalamnya untuk selamanya," kataku dalam langkah menggigil menyusuri air yang mulai menghadirkan lumpur.

Malam sudah hampir menguning dan kembali mengirimku dalam ruang gelap di mana egoku terkunci. Di mana diriku tak terlihat. Di mana hanya ada setitik cahaya yang masuk.

Kurebahkan diriku, berharap bertemu dengan mimpi manis agar lelapku pun menjadi manis. Terselip di dalam pikiran, "biarlah, jika kalbu harus meninggalkan raga saat pagi menjelang. Aku telah siap. Tak ada lagi yang kuinginkan dan yang akan bisa kucapai. Aku lelah berharap. Aku siap!"

Kupejamkan mata seiring napas yang mulai melambat. Detak jantung mengikuti di sela-selanya. Semakin lambat dan terus melambat.

Meski demikian, berbeda dengan pikiran. Pikiran ini ternyata tidak mau melambat. Ia tetap berlari dan bertualang. Meloncat ke sana ke mari semaunya. Kadang meloncat ke ruang penuh dendam yang memaksa diriku untuk mengikutinya memukul sesuatu atau merelakannya.

Selesai di ruang dendam, pikiran itu segera mengajakku melompat ke ruang angan yang penuh dengan buaian, gula-gula, dan bayangan mesum. Tak sampai selesai, pikiran segera meluncur ke ruang yang penuh dengan daftar yang bisa dikerjakan. Di mana rencana berkumpul menjadi satu yang kemudia silih berganti memunculkan diri lalu hilang saat diganti dengan rencana lain. Tak selesai, pikiran mengajakku melompat kembali ke ruang-ruang lain.

Aku pun terus melompat ke berbagai ruang bersama pikiranku. Napas kembali terpacu beriring detak jantung yang mengikutinya. Lelap hanya jadi mimpi. Aku seratus persen sadar meski belum tertidur sejak seminggu yang lalu.

"Apa lagi ini. Tidur pun aku tak bisa... Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Ini surat terbuka untukmu, yang meminta agar Engkau menunjukkan jalan yang harus aku lalui. Aku... aku membutuhkan pertolonganmu segera!"

Post a Comment

Powered by Blogger.