ilustrasi: pixabay |
Sastra tidak lagi bisa dibayangkan sekadar kumpulan kisah atau ungkapan melankolis yang terletak di dalam lembaran-lembaran kertas. Mungkin dua puluh enam tahun silam, Walter Benjamin pernah mengungkapkan sastra merupakan "seni yang direproduksi secara mekanis'. Baginya, berbarengan dengan perkembangan sinema, seni modern telah kehilangan sifat auratiknya.
Sineas terkemuka Indonesia, Garin Nugroho, pun pernah mengutarakan pula "televisi adalah sastra rakyat hari ini". Berdasarkan hal tersebut, bisa dieja secara lain, sastra perlu dipahami dalam konteks perkembangan barus seni dan media.
Di samping semua itu, ada pertanyaan lain yang cukup mengusik yangni, "disiplin ilmu apa yang menggenggam keabsahan dalam mengkaji sastra? Ketika disiplin ilmu kini mengalami konvergensi, klaim atas spesialisasi ilmu tak ubahnya hanya menjadi omong kosong. Batas-batas ilmu pengetahuan yang kiranya dahulu telah dikukuhi para ilmuwan, secara bertahap mengalami keruntuhan. Sebagai akibatnya, berbagai disiplin ilmu tersebut pun tumpah-ruah menjadi kajian sastra. Lagipula, kini perkembangan ilmu sosial acap kali disebut-sebut memasuki "era bahasa" (lunguistic turn).
Pertanyaan dan pernyataan di atas setidaknya dapat melukiskan betapa terbukanya sastra terhadap disiplin ilmu lain serta betapa luasnya kemungkinan sudut pandang yang ditawarkan sastra.
Esesi tersebut hendak mendekati sastra dari sudut pandang teoritis media komtemporer, Jean Baudrillard, yang mengintrodusi terminologi smilacrum untuk menyebut realitas yang dibawakan oleh media massa, terutama televisi. Menurut Niall Lucy (1997), teori Bauddrillard amatlah seduktif bagi studi sastra. Sebab, sudut pandang Baudrillard menawarkan kemungkinan yang menarik untuk melihat sastra.
Akan tetapi muncul lagi pertanyaan, "mengapa perlu bercermin pada televisi (media massa)?" Setidaknya, menurut Budi Irwanto, ada dua alasan penting.
Pertama, sebagai produk dari masyarakat konsumen dan sebagai sebuah obyek, televisi bagi Baudrillard menodisikasi elemen-elemen status sosial. Muatan kultural televisi hanyalah nomor dua ketimbang fungsinya sebagai obyek yang mengukuhkan perbedaan kultural di antara kelas-kelas yang berbeda.
Kedua, mengikuti MacLuhan, Baudrillard menganggap medium sebagai komunikasi, hal yang penting dalam kultur media. Tempat televisi yang diberi dalam wilayah domestik merupakan permainan yang disebut Bauldrillard dengan "keingintahuan yang konyol (ludiccuriosity). Televisi menawarkan bentuk keterlibatan yang tidak mendalah serta menerjemahkan dunia ke dalam realitas sosial yang mudah dicerna.
Berangkat dari cara Baudrillard memandang media (telivisi), inilah sesungguhnya karya sastra yang kaya akan simulacrum. Begitu teks digeneralisasi melampaui batas-batasnya, segala sesuatu pun menjelma menjadi teks. Maka, yang semula merupakan hal yang khusus secara bertahap berubah menjadi hal yang dianggap lazim.
Sama sepertinya, begitu teori romantik tentang sastra (sebagaimana analogi penting dari teori psikonalisis tentang ketaksadaran dan teori strukturalis tentang bahasa) mengampil oper teori tentang segala hal, maka tidak ada lagi spesialisasi yang melekat pada sastra karena semua hal terlah bersifat sastrawi dalam arti tekstual. Sehingga, tidak ada lagi sesuatu yang sublim, karena yang ada hanyalah simulacrum.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan simulacrum? Budi Irwanto, mengatakan bahwa terma simulacrum, berasal dari filsuf Prancis, Jean Baudrillard, yang gagasannya acap dipadankan dengan posmodernisme. Teroinya yang paling ekspilisit tentang pengalaman posmoderinisme dituliskannya dalam buku pendek "Simulatios", yang terbit pada 1983. Agaknya penting memberi perhatian singkat pada tatanan final yang dikemukakan Baudrillard dengan "empat fase seksesif dari citra". Fase-fase tersebut berkaitan dengan tanda atau suksesi citra yang berdistansi dengan obyek representasi (referent) melalui tahapan signifikasi dan nilai.
It is the reflection of basic reality... It mask and preverts a basic reality... It mask and absence of a basic reality... It bears no relation to any reality whatever; it is its own pure simulacrum.
Argumen penting Baudrillard yakni realitas tidak lagi tampak, tetapi lebih pada penampakannya (appearance). Karena itu, pengetahuan sosial tidak didasarkan pada realitas (atau kehadiran) dari apa yang nyata, karena fungsi tanda posmodern adalah menyembunyikan fakta bahwa realitas tidak lagi tinggal bersama kita.
Bahkan, tanda tatanan ketiga, yang menyelubungi absennya realitas, sangat bertautan erat dengan tatanan puncak atau kebenaran sejati tanda posmodern; bahwa tidak ada realitas di luar tanda atau di luar simulai (simulation).
Baudrillard memaparkan contoh Disneland yang "menyembunyikan fakta tentang inilah Amerika yang sebenarnya". Penampakan yang fantastis dari Disneyland, secara fantastis mampu menjadikan semua yang ada di Amerika adalah real, jikalau masih ada cara membedakan antara penampakan dan realitas. Bagi Baudrillard, dalam kenyataannya, semua itu sama sekali tidak ada. Realitas (yang bisa dibedakan dengan tandanya) telah lenyap dan di dalamnya hanya ada tanda dan sistem, simulacra, (dis)simulasi.
Pada kenyataannya Disneyland bukanlah tempat hiburan fantastis yang terpisah dari Amerika yang real: inilah asal-muasal yang kemungkinan penampakan Amerika sebagai yang real dalam dunia posmodern. Yang ditampakkan adalah dunia kekanak-kanakan di mana kedewasaan tersembunyi nun jauh di sana, dalam dunia "real", serta menyembunyikan fakta lain bahwa kekanak-kanakan yang sesungguhnya (real), terutama pada kalangan orang dewasa yang mengunjungi Disneyland yang berprilaku bagai anak-anak demi memupuk ilusi sifat kekanak-kanakan mereka yang sebenarnya.
Maka Disneyland menjadi tanda tatanan ketiga (third-order sign) dan simulacrum dari tatanan puncak, yang menjadikannya sepenuhnya biasa (ordinary).
Cerpen-cerpen Putu Wijaya bisa menjadi contoh yang baik tentang ihwal simulacrum. Dalam sebuah cerpennya, dikisahkan seorang pria yang kehilangan kepala di Bandara Changi, Singapura, lalu dipinjami kepala oleh pramugari agar ia bisa makan dan minum.
Yang membuat kita takjub, bukanlah misteri yang akan tersingkap di ujung cerita, akan tetapi, kita senantiasa hampir tak menemukan referens dalam cerpennya itu. Maka, secara tak disadari, kita pun tak merasa perlu repot-repot mencari realitas sejati di luar cerpen Putu.
Hal yang sama juga bisa ditemukan dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri yang terangkum dalam kumpulan "0, Amuk Kapak". Dalam sajak-sajaknya kita tidak menemukan sebuah esensi atau khotbah tentang moralitas hidup. Yang muncul di sana adalah kegairahan sebuah permainan (games) terhadap kata. Realitas yang sesungguhnya bakalan tidak kita temukan di dalam sajak Sutradji itu.
Agaknya sastra kian dihadapkan pada situasi baru yang menyajikan citraan-citraan yang berkelebatan dan sekilas. Batas-batas antara yang nyata dan maya pun kian melebur. Seperti yang pernah dikatakan oleh Frederic Jameson (1991), "Ciri utama (posmodernisme) adalah munculnya bentuk baru kedataran dan kedangkalan, sebuah bentuk baru kesintaan terhadap permukaan." Akibatnya, dalam sastra citra mampu menekan pentingnya makna.
Dalam mencerap sastra, kian tidak mudah memisahkan hasrat dan nalar sebagaimana dikonstasikan oleh teori sastra posmodern. Ini memang tak berarti bahwa struktur dallam kenyataannya tidak berstruktur, akan tetapi hanya semata-mata struktur itu tidak dapat dipahami hanya lewat teori. Jika konsep tentang struktur dan struktur tentang konsep bukanlah abstraksi atau produk dari pikiran murni - pemisahan pragmatik sosio-politik sehari-hari dengan kehidupan historis - maka tak banyak faedahnya melawankan teori dengan pragmatik, budaya dengan masyarakat, idealita dengan aktualita, dan seterusnya.
Ini mengindikasikan bahwa studi sastra perlu menimbang kembali konsep dan struktur dalam arti relasi yang tidak saling berlawanan antara teori dan pragmatik. Upaya menimbang semacam ini concern untuk melihat satra dalam arti relasi "eksternal"-nya dengan sejarah, politik, dan masyarakat - begitu pula dengan teori.
(Di-tik ulang dari tulisan Budi Irawanto dalam buku Sastra Interdisipliner)
Sumber:
Baudrillard, Jean. 1983. Simulation, New York: Semiotext(e).
Lucy, Niall. 1997. Postmodern Literary Theory, Massachusetts: Blackwell
Publishers.
Stevenson, Nick. 1995. Understanding Media Cultures, Social Thery and Mass
Communication, New York: Sage Publications.
Irawanto, Budi, S.IP. 2003. Sastra Interdisipliner, Yogyakarta: Qalam.
=========================================================================
Hanya pikiran dangkal pengetik (di luar uraian di atas)
[Tapi, antara kenyataan yang sebenarnya dengan kenyataan yang ditampilkan secara dangkal dalam bentuk citra yang menarik berpotensi memunculkan ambiguitas. Batas antara kenyataan dan "kenyataan yang dibuat-buat" akan melebur dan sulit dibedakan.
Bahkan, mungkin, "kenyataan yang dibuat" akan lebih dayakini ketimbang kenyataan yang sebenarnya. Jika "kenyataan yang dibuat" disusupi hal lain yang buruk, itu bisa berakibat buruk. Namun bila disusupi yang sebaliknya ada kemungkinan untuk menjadi lebih baik. Yang jadi pertanyaan "bagaimana mengukur apa yang disusupi itu, jika kenyataan yang sebenarnya dan 'kenyataan yang dibuat' sulit dibedakan?" Jawabannya adalah PENDIDIKAN yang menyeluruh dan merata, sebab apa yang dilakukan media hanyalah menjual jasa informasi yang disukai konsumen. Konsumen sendiri lah yang sebenarnya memegang kunci tampilan di media. Jika yang melihat atau menontonnya banyak, maka media tayangan tersebut akan berlanjut atau terus ditayangkan. Jika tidak, maka akan dihentikan karena tidak mendatangkan keuntungan.]
Post a Comment