{facebook#https://www.facebook.com/tjari.tjari.102} {twitter#https://twitter.com/tjaritjariID} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}


Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa sikap menghargai dari adanya kemajemukan merupakan sikap keberagamaan yang tinggi. Sebab,  Tuhan yang maha berkehendak menciptakan manusia berbeda-beda, baik jenis kelamin, warna kulit, suku, bangsa, bahasa, maupun agamanya.  

Hal ini disampaikan Menag saat memberikan sambutan pada acara penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) Bidang Pendidikan Islam kepada Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyib, di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki), Malang, Rabu (24/02).

Menag menilai Grand Syekh sebagai sosok yang sangat menghargai kemajemukan. Hal ini, salah satunya ditunjukan pada penghargaan mantan Rektor Universitas Al-Azhar itu kepada kalangan Kristen Koptik Mesir. “Al-Azhar tidak pernah menganggap kemuliaan gereja-gereja kalian merupakan hal yang kecil. Pengrusakan yang dilakukan terhadap gereja-gereja tersebut bukanlah cerminan dari agama Islam dan Islam berlepas tangan dari hal tersebut,” kata Menag mengutip pernyataan Grand Syeikh terkait imbaunnya terhadap kalangan Kristen Koptik Mesir.

Dikatakan Menag, bahwa makna penting dari pernyataan Grand Syeikh ini adalah bahwa Islam tidak mentolerir cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ‘Izzul Islam Wal-Muslimin. Menurutnya, bahwa Islam dibangun dengan fondasi rahmah, disebarkan dengan bil-hikmah, dihiasi dengan uswah hasanah adalah ajaran dasar Al-Qur’an dan prilaku yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW selama berdakwah di Mekkah dan membangun hadharah (peradaban) di Madinah. 

Dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk, lanjut Menag, imbauan dan ajaran Grand Syekh sangat terasa relevansinya. Kemajemukan merupakan ciri bangsa Indonesia sejak dulu kala. Bukan saja karena berbagai agama hidup di nusantara ini, kemajemukan bangsa Indonesia juga tampak pada keragaman suku, ras, bahasa, warna kulit, dan corak budaya. Dengan kata lain, kemajemukan identik dengan keindonesiaan itu sendiri.

Menag memandang, perbedaan dan kemajemukan adalah suatu hal niscaya yang harus dipandang sebagai modal, bukan penghambat; sebagai kekuatan, bukan potensi yang merusak. “Maka sikap dan tindakan yang paling penting sebagai umat beragama adalah memelihara kemajemukan itu sehingga terjadi harmoni dan kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat,” katanya. 

Menurutnya, pembangunan nasional hanya dapat berjalan lancar apabila bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa, agama, bahasa, budaya, dan latar belakang yang berbeda-beda bisa hidup rukun dan toleran dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Momen ini, di samping penghargaan kepada seorang ulama berkaliber dunia yang menjadi juru bicara Islam moderat, juga sangat penting bagi Indonesia yang sedang mempromosikan Islam Indonesia sebagai tipikal Islam ramah, moderat, dan rahmatan lil-‘alamin,” tutup Menag. 

Post a Comment

Powered by Blogger.