{facebook#https://www.facebook.com/tjari.tjari.102} {twitter#https://twitter.com/tjaritjariID} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}


Sesuatu yang kita anggap baik dan benar,
belum tentu baik dan benar bagi orang di sekitar kita.

Seorang pemuda yang begitu kurus, terduduk lemas di sebuah jalan. Kekurusannya begitu terlihat dari wajahnya. Tulang pipinya yang menonjol, matanya yang begitu dalam daripada lengkungan tulang mata, tangannya yang begitu kecil, bahkan tak melebihi tangan seorang anak yang berusia lima tahun. Ia terlihat begitu menderita dengan apa yang dirasakannya. Batin dan fisiknya sakit secara bersamaan, membuatanya semakin sedih dan hampir putus asa.

“Hah, kau memang teman paling setia untukku. Selalu ada saat aku butuh. Kau memang tidak baik untukku, tapi kau mampu menenangkanku dengan sugesti-sugesti yang damai. Ko! Kau..” Seorang lelaki muda yang tertunduk lemas itu berbicara dengan nada yang memelas. Tangannya kaku, yang kanan memegang dadanya yang begitu kecil. Sedangkan yang kiri terjuntai ke lantai, tak bergerak sedikitpun seolah begitu beratnya hingga ia tak mampu mengangkat, ataupun menggerakkannya. Ia masih terduduk dengan lemah dan membisu.

Beberapa saat kemudian terdengar sebuah suara yang mempertanyakannya dengan nada yang meninggi. “Apa? Kenapa? Memang ada apa denganmu? Apa maksud ucapanmu, kalau aku tidak baik?”
“Bu..bukan maksudku untuk melecehkan kamu, Ko! Kamu memang begitu setia sama aku. Tapi…tapi kita harus berpisah, karena ini jalan yang harus kutempuh untuk hidupku!” Wawan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan gugup dan ragu.

“Wan! Apa sih yang ada dalam pikiranmu? Aku ini selalu jadi sahabat yang setia untukmu. Ketika kau bersedih, siapa yang selalu ada untuk membuatmu senang? Ketika kau patah hati siapa yang hadir untuk berbagi kegelisahan? Ketika kau senang siapa sahabat yang begitu setia untuk membagi kebahagiaan? Itu semua aku kan Wan! Aku yang selalu menemani saat sedihmu! Saat hatimu berserakan bagai kaca! Saat jiwamu menderita, saat…” Suara misterius itu berbicara dengan nada yang lebih tinggi hingga akhirnya Wawan menyela pembicaraanya.

“Cukup, cukup Ko! Memang semua itu kamu yang melakukannnya. Tapi ada masalah lain yang membuatnya berbeda Ko! Masalah yang begitu penting, masalah tetang hidupku! Memang kau yang membuatku senang. Memang kau yang menemaniku ketika aku sedih. Memang kau yang menenangkan di saat kegundahan menyelimutiku. Memang kau Ko! Tapi kau merusak diriku dengan sesuatu yang kau simpan. Kau hanya memberikan sugesti dan ketenangan pada diriku, tetapi kau tidak memberiku pemecahan dalam setiap masalahku. Aku, aku ini sakit Ko! Dokter bilang, bahwa paru-paruku sudah bolong. Sepeti buah apel yang telah habis digerogoti ulat-ulat yang begitu rakus. Dokter juga bilang bahwa aku tidak boleh bermain dan berbagi rasa lagi denganmu, jika aku mau tetap hidup!” Matanya memerah. Mulutnya terbuka seperti mau mengatakan sesuatu, namun tak terucap sepatah kata pun.

“Wan! Apa yang kau pikirkan? Semua itu hanya setan yang ingin merusak persahabatan kita yang telah lama terjalin. Sebaiknya kau mau berpikir lagi, karena sebagian besar hidupmu, telah kita lalui bersama. Wan! Aku berjanji aku akan lebih setia lagi kepadamu. Akan aku…aku…!” Tak mampu lagi berkata-kata. Keduanya pun terdiam dalam keheningan. Akhirnya salah satu dari mereka berbicara memecah kesunyian.

“Ko! Maaf, aku harus meninggalkanmu sekarang juga!” Berdiri dengan sangat bersusah payah. Tangannya tetap terjuntai kaku, yang satu memegang dadanya yang begitu kecil dan yang satu lagi berayun mengikuti langkahnya yang berat dan lemah, menjauhi tempat di mana suara misterius itu muncul.
***
Suara misterius itu berbicara dengan nada yang angkuh setelah perginya Wawan. “Hah, dia pikir cuma dia, teman yang bisa aku berikan ketenangan dengan sugesti-sugestiku. Akan aku buktikan, aku akan mendapatkan teman sebanyak-banyaknya. Aku tak begitu butuh dia! Justru dialah yang selama ini butuh aku. Tapi sebagai bukti kalau aku adalah sahabat yang setia, aku akan menunggunya untuk kembali kepadaku. Akan aku buat dia kembali bersahabat denganku, hingga dia benar-banar mati di pelukanku. Ha,ha,ha,ha,!” Tawanya mengelegar ke segala penjuru, memekakkan telinga yang sudah pekak karena deru bising dunia.
***
“Apa? Aku benar-benar mencintaimu. Dalam hatiku selalu ada dirimu, dalam jiwaku selalu ada bayangmu! Sebenarnya apa yang membuatmu luluh dan mau menjadi kasihku? Jika kau menginginkan setangkai mawar putih, akan kuberikan seribu tangkai untukmu. Jika kau menginginkan sesuatu yang lain untuk membuktikan cintaku padamu katakan saja, jangan kau diam membisu. Diammu adalah belati untuk hatiku. Belati yang siap mengiris-iris hati ini!” Pertanyaan serta pernyataan muncul dan keluar bagaikan air yang mengalir dari mulutnya yang menghitam legam. Bagaikan sungai yang mengalir deras menerjang dan menghantam apapun yang menghadang dengan tidak menghiraukan resiko yang akan terjadi. Bagaikan gunung merapi yang magmanya sudah terlalu banyak dan berdesakkan untuk keluar. Akhirnya gunung merapi itu meletus karena tak tertahankan dan semua magmanya keluar menghantam apa saja yang menghadang.

“Maaf Wan! Sekali lagi aku minta maaf! Sebenarnya tak ada…atau…ah aku jadi bingung. Aku, aku…tolong untuk sementara ini tinggalkan aku sendiri!” Gadis itu terlihat bermuka pucat pasi. Bola matanya bergerak tak menentu. Kadang bergerak ke kanan, ke kiri, ke atas, dan jatuh lagi ke bawah. Yang pasti ia tak berani menatap Wawan secara langsung. Yang ada di benaknya hanyalah jawaban, “mengapa aku tak berani berkata jujur akan hatiku!”

“Mengapa, mengapa? Tolonglah jawab saja! Mungkin sakit saat ini akan lebih baik bagiku daripada kau diam membisu. Ti, justru diammu itu adalah sebuah cambuk yang memecut hatiku terus menerus, yang rasa sakit dan perihnya tak akan berakhir hingga kau berbicara. Walaupun rasa sakit itu tak akan hilang setelah kau berbicara, tapi itulah sebuah risiko yang harus aku terima. Ti, tolonglah Ti! Dengan nada yang memelas namun sedikit memaksa.

“Oke, aku akan berbicara padamu. Tapi aku minta kau tidak marah ataupun dendam padaku dan pada orang lain, karena ini adalah pilihanku, jalan yang kutempuh. Hem, maaf Wan! Aku sudah mempunyai seorang kekasih, dan dia adalah temanku yang juga merupakan temanmu, jika aku kenalkan kau nanti.” Kata-katanya penuh keragu-raguan dan rasa kasihan. Dalam hatinya terbesit bayangan-bayangan yang sungguh mengecewakan jiwanya, dirinya, juga hatinya. Persahabatan yang dianggapnya sesuatu yang sakral kini sedikit ternodai oleh perbuatan Wawan, dan dia kecewa akan hal itu.

“Oh, ternyata kau sudah mempunyai pertautan hati. Mungkin inilah nasib yang harus aku terima. Aku tak akan dendam padamu atau pada siapapun. Aku tak akan bertannya siapa kekasihmu itu, walau kau bilang bahwa seseorang yang beruntung itu adalah sahabatku. Terima kasih untuk waktu dan segala ucapanmu yang terbuang sia-sia karena aku!” Lalu pergi menjauh dengan wajah muram. Hatinya kini benar-benar hancur menjadi kepingan-kepingan yang berserakan. Tubuhnya yang kurus semakin terlihat tak menarik dan begitu lemahnya.
***
Laki-laki itu terdiam di suatu tempat yang sepi, menyendiri dan menenangkan diri dengan apa saja yang bisa dibuatnya. Terdengar beberapa larik-larik puisi dibacanya. Puisi hasil karya hatinya yang luka. Puisi dari seorang awam yang tak mengerti.

Mimpi
Semua harap yang kujunjung hingga tinggi
Kini hanyalah harap yang telah pasti
Rupanya kenyataan telah pergi
Tinggalah mimpi yang menemani
Kau pergi.. kau lari.. dan ku mati dalam harapku
Mengapa kau hadir hanya untuk pergi?
Mengapa harus ada mimpi manis jika kenyataannya sepahit nyali?

Tak lama kemudian datanglah sahabat yang tadi telah ditinggalkannya, suara suara misterius yang sangat bahagia. Menebar janji yang manis untuk jiwanya yang luka. “Wan, apa kabar! Sepertinya kau sangat sedih. Puisi yang kau buat dan kau baca begitu menggambarkan keadaan hatimu yang luka. Wan, aku ini adalah sahabatmu, ceritakanlah, mengeluhlah, dan dengarkanlah sugesti-sugestiku!”
“Maaf Ko! Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi berhubungan denganmu. Jadi tolonglah tinggalkan aku sendiri!” Nadanya terdengar memohon.

“Wan!! Kamu sedang sedih, sedang patah hati, marilah berbagi kesedihanmu denganku. Aku bejanji akan membuatmu tenang dan lebih senang untuk melupakannya. Ayolah Wan!” Degan segala upaya terus membujuknya. Rayuan manis yang sangat menjanjikan kedamaian semua terlontar dari kata-katanya yang dusta.

“Baik untuk saat ini aku masih tetap menjadi sahabatmu. Namun, suatu saat nanti aku akan pergi meninggalkanmu. Karena jika tidak, aku yakin kalau aku akan mati di tanganmu!” Dengan sedikit menyesal Wawan pun mau.

Merekapun berbagi cerita dan berbagi rasa, dan selalu saja muncul berbagai sugesti tanpa satupun muncul pemecahan masalah. Namun, dengan begitu pun Wawan menjadi tenang dan bisa sedikit meredam hatinya yang pecah berserakan.

***
“Ko! Aku sedang butuh sugestimu. Cepat berikan aku sugesti-sugestimu! Pikiranku sedang penat. Bosan dengan kehidupan yang selalu saja sama setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik.” Wajahnya terlihat begitu muram. Matanya sangatlah misterius, tak ada pancaran sinar kehidupan.
“Wan, apa masalah yang sebenarnya? Tidak mungkin kamu menjadi bosan hanya karena suatu hal yang sepele seperti itu. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu itu?” Suara misterius itu mencoba membual dengan kata-katanya.

“Sudahlah cepat berikan sugesti-sugestimu padaku! Jangan kau banyak bertanya padaku. Berikan saja!!” Sejenak Wawan terdiam, lalu berbicara.

“Sahabat, aku harus meninggalkanmu. Kali ini aku benar-benar akan meninggalkanmu, hingga tak ada lagi dirimu dan tak ada lagi rayuanmu. Aku kini pergi selamanya karena dirimu. Apa kau senang sahabat? Apa kau bangga jika aku mati dengam paru-paru seperti buah apel yang menjadi sarang ulat? Dokter sudah memfonis bahwa hidupku sudah tidak lama lagi. Hidup bersama dirirmu pun tak akan ada lagi. Hidup bersama seseorang yang aku cintai mungkin tak akan bisa aku harapkan lagi. Hidup bersama teman yang aku sayangi kini hanyalah mimpi. Selamat tinggal kekasihku! Selamat tinggal sahabatku! Sahabat yang kubutuhkan sekaligus aku benci. Selamat tinggal pembunuhku, selamat tinggal penenangku!”
***
“Selamat tinggal kawan! Aku turut bersedih bila kau bebar-benar tak jadi mati di tanganku. Selamat tinggal sahabat, tak lama lagi akan ada banyak teman yang menyusulmu ke alam baka. Teman yang akan menemanimu, walaupun di sana juga sudah banyak yang lebih dahulu daripada dirimu karena perbuatanku. Selamat bersenang-senang kawan! Ha,ha,ha,!” Suara misterius tersebut tertawa sangat keras dan menggelegar. Suaranya terdengar mengandung suatu kebanggaan licik atas kemenangannya. Beriring dengan tawanya itu, pergilah teman yang selalu saja didustainya ke suatu tempat yang tak pernah seorang pun kembali.

Post a Comment

Powered by Blogger.