(ADS)
Cerita nyai merupakan sebuah jenis cerita dalam bahasa Melayu Rendah yang popular di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, umumnya dikarang oleh orang Indo atau Tionghoa Peranakan. Pernyaian sendiri muncul pada masa kolonial yang dilakukan oleh perempuan pribumi atau Indonesia sebagai cara untuk mempertahankan hidup atau mengadaptasikan diri dengan masa kolonial.
|
2.1 Pernyaian pada Masa Kolonial
Untuk menggambarkan konsep nyai atau gundik pada masa kolonial dalam hal ini adalah, Ibnu Wahyudi mengatakan bahwa:
Di masa kolonial, pernyaian adalah suatu praktik hidup bersama antara seorang Eropa atau seorang Cina dengan seorang atau lebih perempuan pribumi tanpa dilandasi dengan suatu legalitas perkawinan. Pola hubungan semacam ini diterima apa adanya pada masa itu, karena institusi itu muncul sebagai suatu kefaktualan atau semacam kenyataan sosial yang tidak mungkin dielakan dan berlangsung sebagai sesuatu yang dapat dikatakan alami. Dengan pengertian lain, “pernyaian” tidak lain adalah produk sosial yang muncul akibat suatu kondisi penjajahan atau kolonialisme yang menempatkan sang penjajah sebagai pihak superior dan yang dijajah sebagai inferior.[29]
Munculnya praktik pernyaian dalam masyarakat kolonial di Indonesia dapat dijelaskan melalui sejumlah kemungkinan. Kemungkinan pertama, pernyaian muncul sebagai akibat logis dari keberadaan para pegawai VOC yang masih bujangan atau yang –lebih-lebih– tidak disertai istri mereka dalam hubungan untuk pemenuhan kebutuhan biologis mereka. Jika kita melihat kembali latar belakang penjajahan pada zaman Belanda yang melakukan penjajahan di Indonesia selama 350 tahun dengan segala bentuk penindasan termasuk terhadap perempuan. Penjajah tersebut (VOC) menjadi orang yang memiliki kedudukan utama di wilayah Indonesia memunculkan keinginan untuk mengikuti perintah merusak kedamaian masyarakat Indonesia sehingga tidak memikirkan status yang mereka bawa dari negerinya sendiri. Dengan demikian, yang menjadi sasaran adalah perempuan Indonesia yang haus akan kedamaian dan ketenteraman hidup.
Kemungkinan kedua, praktik pernyaian berkembang secara cepat dan meluas dalam periode kolonial itu sesungguhnya merupakan suatu manifestasi dialektik antara pihak superior dengan pihak inferior di tanah jajahan. Artinya bahwa perbuatan tersebut sebagai manifestasi politik penjajah sebagai jalan untuk lebih menguasai Indonesia. Oleh sebab itu, keeksistensian antara pihak superior dengan pihak inferior menjadi pelampiasan ide atau gagasan untuk menyatukan hal yang berbeda dan menyebarkannya. Karena masyarakat Indonesia pada saat itu masih berada dalam pengawasan penguasa yang datang dari negeri asing (VOC, Belanda).
Kemungkinan ketiga, pernyaian dapat muncul dan berkembang secara cepat di Indonesia pada masa kolonial itu adalah tidak lain sesungguhnya merupakan akibat logis dari tidak mungkinnya terjadi perkawinan legal atau perkawinan secara sah, selayaknya, antara laki-laki kulit putih yang hampir semuanya beragama Nasrani dengan perempuan pribumi yang biasanya bergama Islam.[30] Perbedaan agama tersebut menjadi prioritas masyarakat Indonesia dalam melakukan perkawinan. Pemikiran yang dibawa dari pihak ketimuran masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, menyebabkan pegawai VOC memilih jalan pintas yaitu menjadikan perempuan tersebut sebagai nyai atau gundik. Sebagaimana telah dibahas dalam pendahuluan bahwa seorang perempuan masyarakat Indonesia menjadi seorang nyai disebabkan oleh beberapa hal, ada yang melakukannya dengan kesenangan dan ada pula dengan penderitaan.
Ada beberapa kemungkinan lain yang dapat memberikan semacam titik tolak pemahaman akan populernya kehidupan pernyaian pada kurun waktu tertentu yakni pada masa kolonial yaitu:
Pertama, kehidupan pernyaian setidak-tidaknya melibatkan dua pihak, yaitu nyai itu sendiri dan seseorang yang berbeda ras – biasanya disebuat sebagai “tuan” –yang telah memeliharanya. Interaksi antara dua orang yang berjenis kelamin berbeda, akan menimbulkan konflik yang bermuara dari perbedaab latar budaya, kebiasaan, maupun hal-hal yang bersifat keimanan. Konflik tersebut yang menyebabkan daya tarik dalam cerita pernyaian. Kedua, selain hal-hal yang sebatas masalah interaksi antara dua manusia yang secara biologis maupun status sosialnya berbeda, pernyaian menjadi semakin menarik karena ada kecenderungan emosional yang menyertainya yang bersumber dari soal percintaan atau juga keterpaksaan, dari libido atau nafsu birahi semata-mata, dari keinginan untuk berselingkuh dengan pihak lain, atau bahkan juga dari adanya kehendak untuk mengabdi.[31]
Untuk itu, kedudukan nyai menjadi sorotan sangat penting yang dianggap masyarakat pada masa kolonial sudah menjadi hal biasa, tetapi memiliki nilai yang kurang bagi perempuan yang menjadi seorang nyai. Apalagi perempuan yang menjadi nyai harus dapat menerima risiko jika tuannya tidak sesuai dengan yang diharapkan dan jauh dari tanggung jawab. Jika kita menceritakan hubungan “Nyai-Tuan” berarti menceritakan hubungan seksual di luar nikah dan arena itu dianggap “cabul”. Akan tetapi, dalam cerita-cerita Melayu rendah masih ada keuntungan lain yang lebih utama dari perempuan yang menjadi nyai yaitu biasanya dapat menerima harta benda dari tuannya yang tidak pernah dimiliki oleh perempuan pribumi.[32]
Di masa awal kolonisasi Hindia Belanda, para pejabat Belanda datang tanpa disertai mevrouw (nyonya). Keberadaan nyai sepenuhnya difaktori kepentingan seksual dan status sosial pejabat kolonial di tanah Hindia. Pada masa kolonial tersebut, nasib nyai jauh lebih beruntung daripada para budak. Seorang nyai berada dalam posisi yang tinggi secara ekonomis, tapi rendah secara moral. Secara ekonomis, mereka berada di atas rata-rata perempuan pribumi yang bukan bangsawan. Para nyai mengenakan kain songket bersulam benang emas dan perak, mengenakan tusuk konde ros, peniti intan, dan giwang yang terbuat dari berlian.
Status sebagai nyai dalam konteks kehidupan kolonial banyak dipandang sebagai status yang lebih tinggi dari kebanyakan perempuan biasa karena adanya kesempatan berinteraksi dengan laki-laki dari bangsa lain yang memang sudah dianggap lebih tinggi statusnya dalam kehidupan sehari-hari. Status nyai ketika itu memang lebih tinggi dari babu. Akan tetapi, oleh orang Eropa tetap direndahkan, sedangkan anak perkawinan orang asing dengan nyai disebut Indo, yang statusnya juga dianggap lebih rendah dari orang Eropa. Sistem patrilineal memungkinkan anak dari hasil hubungan antara “Nyai-Tuan” memperoleh status resmi sebagai orang Eropa.[33]
Kondisi sosial ekonomi yang sangat menekan orang-orang pribumi, khususnya perempuan, telah menyebabkan mereka memilih menjadi seorang nyai laki-laki Eropa sebagai jalan keluar yang bisa membantu menyelesaikan masalahnya jika dibandingkan dengan menikah secara resmi dengan laki-laki pribumi yang masih berstatus sosial rendah pula. Nasib perempuan yang menjadi seorang nyai tidak selamanya mendapatkan kebahagiaan, akan tetapi ada pula seorang nyai yang tertindas dan menerima resiko jika suatu waktu harus ditinggalkan tuannya. Dalam cerita roman Harta yang Terpendem misalnya, nasib Idja sebagai babu yang menjadi nyai seorang Sinyo harus rela ditinggalkannya.
“Adu sinyo, sakit amat rasanya hatiku yang kita orang misti terpisa di ini hari! Maski aku cinta pada dirimu dengen hati yang suci, tapi aku tau lantaran aku seorang anak negri, memang tida pantes buat jadi kau punya istri, maka sekarang kau suru aku pergi tinggal di udik. Biar aku sendiri yang misti mati, lantaran menanggung rindu keras pada dirimu, aku masi merasa lebi senang dari pada bikin cilaka kau punya peruntungan.” (hlm. 412)
Pandangan masyarakat terhadap nyai pada masa kolonial sebelumnya sangat merendahkan sehingga banyak pihak yang melarang adanya praktik pernyaian. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, tidak menyetujui adanya praktik pergundikan karena hal tersebut dianggap tidak pantas sehingga ia memerintahkan untuk memberantas praktik pergundikan dengan cara apapun. Alasan J. P. Coen terhadap pemberantasan pergundikan karena menganggap bahwa perempuan pribumi yang menjadi gundik atau nyai telah menjadi penyebab timbulnya kasus pengguguran kandungan, pembunuhan bayi, dan bahkan telah munculnya aksi peracunan yang dilakukan seorang nyai terhadap tuannya, laki-laki Eropa, karena ada kecemburuan.[34]
Selain itu, banyak cacian dan makian masyarakat pribumi terhadap para nyai karena dianggap telah merendahkan kaum perempuan pribumi lainnya.
Nyai merendahkan perempuan sehingga perempuan bukan laki-laki, bukan Barat, dan yang terpenting nyai mengindikasikan sebagai bukan perkawinan sah. Nyai adalah nafsu birahi, meskipun korbannya ada di Timur, tetapi kekuasaannya, kebudayaannya dibawa dari Barat sebab orang-orang Barat yang datang ke Timur adalah laki-laki.[35]
Dengan demikian, meskipun perempuan sebagai korban dari adanya praktik pernyaian, ia dianggap pengkhianat bangsa atau kaumnya sendiri atas tindakannya bergabung dengan orang-orang Eropa. Namun, alasan-alasan perempuan melakukan praktik pernyaian pun tidak semuanya dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan perekonomiannya, ada pula perempuan yang terpaksa atau dipaksakan kehendaknya menjadi seorang nyai. Pada kenyataannya, sistem pernyaian di Indonesia pada masa kolonial berangsur-angsur dapat diterima dalam kehidupan masyarakat sehingga seorang nyai pun bisa menjadi perempuan yang memiliki pengetahuan luas dan berpendidikan untuk menjadi perantara dua kebudayaan yang berbeda. Hal tersebut telah memberikan stigma bahwa tidak semua nyai membawa dampak buruk bagi masyarakat pribumi pada masa kolonial. Oleh sebab itu, nyai yang selama ini direpresentasikan sebagai inferior perempuan dan memiliki kedudukan yang lemah di dalam masyarakat telah membuat para perempuan memosisikan diri untuk melawan stigma tersebut supaya mendapatkan pengakuan dari kaum laki-laki dan masyarakat.
2.2 Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Tionghoa
Dari sejumlah karya sastra yang terbit pada masa kolonialisme, seorang nyai selalu digambarkan sebagai sosok perempuan yang suka serong, bodoh, dan suka mencuri harta tuannya. Baik pengarang Tionghoa maupun pengarang dari luar bangsa pribumi memandang seorang nyai memiliki sifat yang negatif. Hal tersebut telah menggambarkan perempuan pada masa kolonial yang menjadi nyai orang Eropa telah membuat citra buruk yang tidak bisa lepas dari sejarah praktik pernyaian. Pandangan masyarakat kolonial telah berimbas pada semua segmen masyarakat terhadap perempuan dalam praktik pernyaian, tidak terkecuali dengan masyarakat Tionghoa yang menjadi salah satu masyarakat minoritas di Indonesia yang tidak terlepas dari adanya praktik pernyaian.
Masyarakat Tionghoa memandang perempuan memiliki kedudukan rendah seperti apa yang terlintas dalam pemikiran yang datang dari bangsanya sendiri. Penduduk atau masyarakat Tionghoa menyatakan bahwa sebuah kelahiran seorang anak yang berjenis kelamin perempuan merupakan sebuah bencana yang tidak diharapkan sehingga berpengaruh bagi masyarakat Tionghoa yang datang ke negara lain. Masyarakat Tionghoa dengan menikahi perempuan setempat atau pribumi yang tidak mengetahui cara mendidik anak yang baik sesuai dengan kitab-kitab yang dianutnya.[36] Hal ini berarti kedudukan perempuan yang ada di pribumi dengan di Cina sendiri memiliki kesejajaran yaitu masih dianggap rendah yang layak mendapatkan ketertindasan sehingga perempuan yang menjadi nyai lebih dianggap sangat rendah kedudukannya. Bahkan Bas Veth, seorang maha guru sastra Belanda pernah menulis di dalam bukunya, Het Leven in Nederlandsch Indie, 1900 (Kehidupan di Hindia Belanda, 1900) bahwa kehidupan para nyai sungguh tidak beradab dan para nyai yang menjadi istri atau gundik Belanda termasuk jenis hewan dalam berperilaku.[37] Selain itu, sebenarnya mayoritas masyarakat pribumi mencurigai dan tidak menghargai sehingga para nyai sering merasa terkucil.
Para perempuan Cina atau Tionghoa selalu menjadi korban kekuasaan laki-laki, mereka tidak bisa merdeka untuk menempatkan diri dalam ruang publik sebagai perempuan yang bisa dihargai dan dihormati oleh orang lain. Menurut Konghucu, perempuan itu diibaratkan sebuah benda yang bisa diperjualbelikan dan image perempuan yang sangat menyedihkan itu berlanjut hingga membentuk sejarah yang buruk bagi kaum perempuan di Cina. Dalam masyarakat Tionghoa pula, citra perempuan yang sangat rendah diibaratkan sebagai “air penyakit” yang membersihkan masyarakat dari kebahagiaan dan kekayaan.[38] Dengan demikian, kaum laki-laki yang memiliki kekuasaan dengan senantiasa melakukan sewenang-wenang dan sesuka hati terhadap kebebasan perempuan sehingga para perempuan pun tidak berdaya untuk membuat kebahagiaan sendiri.
Masyarakat Tionghoa yang memiliki sistem patrilineal juga telah mengonstruksi perempuan sebagai kaum yang buruk dan tidak dapat pengakuan dalam masyarakat. Myra Shidarta mengatakan bahwa kalangan perempuan Tionghoa, secara umum, mengalami masa penderitaan yang amat panjang atas perlakuan yang muncul dari citranya sebagai perempuan dalam aspek keluarga dan masyarakat. Kelahiran anak perempuan merupakan suatu bencana bagi keluarga karena ia tidak bisa menjadi penerus tradisi keluarga sehingga keberadaannya hanya bisa menyusahkan keluarga, sementara kelahiran seorang anak laki-laki menjadi bagian yang paling istimewa untuk keluarga. Posisi perempuan yang inferior sudah berawal semenjak mereka dilahirkan sampai akhir hayatnya. Secara internal, para perempuan dalam masyarakat Tionghoa mengalami penganiayaan oleh komunitas laki-laki Tionghoa sendiri, baik itu dipukuli, diperdagangkan, dijadikan budak dan pelacur, dan bahkan dibuang atau dibunuh.[39]
Posisi perempuan yang sangat rendah dalam masyarakat Tionghoa telah mengonstruksi kaum laki-laki Tionghoa untuk memperlakukan perempuan dengan sewenang-wenang. Perempuan yang tidak dihargai atau dihormati sehingga ia akan selalu menjadi korban dalam sebuah konflik atau kekerasan. Hal tersebut telah memberikan pengaruh kepada setiap orang ketika memperlakukan perempuan Tionghoa yang memiliki posisi subordinat dalam masyarakatnya untuk dijadikan sasaran kekerasan. Pada tahun 1937, di dataran Cina terdapat tiga juta budak perempuan yang sama sekali tidak ada hak untuk bertahan hidup. Hal tersebut menggambarkan bahwa kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan yang biasa melayani kaum laki-laki atau keluarga. Perempuan seumur hidupnya berada di bawah kekuasaan laki-laki, yaitu ayah, suami, dan saudara yang masih bujang jika ayahnya tidak ada atau anak jika suaminya sedang keluar rumah.[40]
Perempuan dalam masyarakat Tionghoa sudah tidak memiliki peran untuk berinteraksi dalam ruang publik. Hak-hak perempuan sudah diperjualbelikan sehingga kedudukan perempuan sudah tidak berharga. Dalam filsafat Cina kehidupan perempuan tergantung kepada tiga kepatuhan, yaitu: (1) kalau ia masih bersama orang tua, ia harus patuh kepada ayahnya; (2) kalau sudah menikah, ia harus patuh kepada suaminya; dan (3) jika menjadi janda, ia harus patuh kepada anak laki-lakinya.[41] Dalam sistem perkawinan, jika perempuan menikah, kehidupan perempuan dapat terangkat statusnya sebagai perempuan. Akan tetapi, pernikahan pun tidak selalu membawa kebahagiaan kepada perempuan karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, perempuan tidak diberikan kesempatan memilih suaminya sendiri, bahakan mereka tidak pernah bertemu dengan calon suaminya. Kedua, perempuan dinikahkan demi hubungan bisnis. Ketiga, seorang gadis harus membuktikan keperawanannya kepada mertuanya. Apabila bukti itu tidak ada, ia akan dikembalikan kepada orang tuanya dan itu merupakan aib yang luar biasa.[42]
Dalam posisi perempuan yang sudah berkeluarga, ia dapat bertahan untuk mengikuti alur kehidupan suaminya jika ia memiliki anak laki-laki, maka nasibnya akan membaik sebagai seorang istri karena dianggap telah melahirkan anak yang bisa meneruskan garis keturunan keluarga suainya. Namun, jika sudah menjanda, posisi perempuan akan kembali ke posisinya yang menderita dan tidak berharga di mata kaum laki-laki dan tidak memiliki kekuatan untuk menentang kekuasaan laki-laki. Oleh sebab itu, kaum laki-laki Tionghoa memperlakukan perempuan selayaknya benda yang sangat tidak berharga meskipun posisi perempuan pun bisa berperan dalam perkembangan kehidupan laki-laki tersebut.
Sebagai gambaran bahwa laki-laki Tionghoa masih memandang perempuan sebagai benda yang tidak berharga ketika mereka memandang perempuan sebagai pemuas seksualitasnya Salah satu unsur yang berperan dari perempuan bagi kaum laki-laki adalah ia dapat memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan seksualitas laki-laki. Hal tersebut misalnya dalam hal perseliran pada masa kerajaan atau praktik pernyaian pada masa kolonial yang memperlakukan perempuan sebagai budak seksualitas.
2.3 Pernyaian dalam Masyarakat Tionghoa Peranakan
Masyarakat Tionghoa Peranakan merupakan golongan Tionghoa hasil hubungan orang Tionghoa dengan perempuan pribumi. Kaum Tionghoa Peranakan biasanya mempunyai darah pribumi dari garis perempuan dan menjalankan kehidupan dengan cara yang mirip seperti orang-orang pribumi. Hal tersebut berarti Tionghoa peranakan bukan hanya peranakan dalam arti biologis, tetapi juga dalam arti kebudayaan. Bahasa yang dipergunakan sehari-hari pun memakai bahasa Melayu, Indonesia, Jawa dana Sunda. Hanya sedikit dari golongan Tionghoa Peranakan yang memakai bahasa Tionghoa. Dalam adat-istiadat pun tidak 100% Tionghoa, tetapi mereka telah mengambil adat-istiadat penduduk bumiputra setempat.[43] Orang-orang Tionghoa yang awalnya datang ke Indonesia tidak membawa keluarga, tetapi mereka menikahi perempuan pribumi atau memelihara perempuan pribumi (nyai) yang biasanya dari kalangan bawah dan muslim hingga akhirnya mereka pun menetap. Dalam perjalanan waktu, tumbuhlah satu masyarakat Tionghoa peranakan yang nyata dan mantap.[44]
Pada masa kolonial, penduduk Tionghoa Peranakan yang minoritas telah membentuk satu masyarakat yang kuat. Mereka bisa membangun perekonomiannya sendiri sehingga dapat diakui oleh orang-orang Belanda atau pribumi bahwa orang-orang Tionghoa sangat mahir dalam bidang perekonomian. Dengan kekayaan tersebut, laki-laki Tionghoa Peranakan dapat melakukan apa saja yang diinginkannya, bahkan memiliki beberapa istri atau perempuan peliharaan pun dapat dipenuhinya sebagai pemuas nafsu seksual belaka. Para perempuan pribumi yang menjadi sasaran laki-laki Tionghoa dalam pemenuhan hasrat seksualnya, yang pada masa kolonial disebut dengan istilah “nyai”. Laki-laki Tionghoa telah menjadi penjajah seksualitas perempuan pribumi yang menganggap bahwa perempuan pribumi memiliki persamaan kedudukan dengan perempuan di Cina yang bisa dikuasai hak-haknya sebagai perempuan.
Sebagai seorang perempuan di hadapan laki-laki dan sebagai seorang pribumi di hadapan penjajah, seorang nyai bisa dikatakan berada dalam posisi yang tertindas secara ganda. Akan tetapi di sisi lain, sebagai perempuan yang keluar dari hierarki masyarakat tradisional pribumi dan menjadi ‘kekasih’ penjajah, seorang nyai mempunyai akses pada pengetahuan dan harta benda yang tidak dimiliki perempuan pribumi lainnya. Hal tersebut merupakan nasib baik yang dialami seorang nyai jika laki-laki asing yang menjadi tuannya bisa menghargai dan memperlakukannya selayaknya istrinya yang akan melahirkan seorang anak laki-laki.
Pada penelitian ini, akan terlihat sisi perempuan atau konsep nyai dari sudut pandang masyarakat Tionghoa Peranakan. Latar belakang budaya, tradisi dan adat istiadat orang Tionghoa membuktikan bahwa kedudukan wanita berada di bawah kaum prianya. Wanita lebih dianggap sebagai “benda” daripada manusia, atau sebagai budak pria sekaligus “mesin” untuk memenuhi kewajiban pokok keluarga, yaitu melahirkan anak sebagai penerus garis keturunan keluarga. Selain itu, jika melihat latar belakang atau prinsip orang Tionghoa akan kehidupan bahwa mereka melakukannya secara total untuk menghadapi kehidupan apa adanya, tetapi dengan mengarah pada kehidupan yang lebih baik untuk keturunannya. Masyarakat Tionghoa memiliki nilai yang bersifat matrealistik dengan tujuan yang positif yakni untuk kebaikan menjalani kehidupan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan konsep nyai saat itu bahwa masyarakat Tionghoa Peranakan pun tidak akan jauh beda dengan masyarakat asli Tionghoa, berkomitmen total untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan memilih perempuan untuk dijadikan nyai akan lebih baik daripada mendorong nafsu ke arah yang lebih buruk tetapi dengan alasan lain.
Bahkan di masyarakat Tionghoa sendiri, budaya perkawinan dianggap sangat sakral dan integral sehingga memiliki norma dan aturan untuk tradisi perkawinan pada batas tertentu. Artinya, jika melanggar aturan tersebut maka akan mendapatkan sanksi. Rasa saling menghormati dan menghargai terhadap sesama menjadi proses dalam kehidupan berkeluarga. Dalam masyarakat Tionghoa sendiri, seorang laki-laki dapat menikah dengan lebih dari satu perempuan, tetapi hanya seorang yang diakui sebagai istri sah. Menurut Mann, di dalam kitab Li Ji[45] dikatakan bahwa: “... ia (wanita) menjadi istri bila melewati upacara perkawinan, dan hanya diakui sebagai seorang selir bila dalam menjalani kehidupan perkawinan tidak melewati tahap pin li.[46]” Dalam roman Peniti-dasi Berlian terdapat contoh salah satu istri yang tidak melewati tahap pin li[47] merupakan isti yang tidak sah. Tokoh Soemarti menyadari hal tersebut sehingga ia menyuruh suaminya untuk menikah dengan perempuan dari bangsanya sendiri sebagai istri yang sah.
“Tida, dengerlah dulu aku cerita. Aku ini bukan kau punya bangsa, maka kau musti mempunyai satu istri kawin yang sah, dan tida ada laen orang yang lebih pantes dari nona Hiang. Sunggu aku nanti merasa girang sekali jika kau mau menikah dengen nona itu, kerna aku brani pastiken, aku tida nanti tersia-sia. Aku suda kenal betul ia punya prangi yang halus, maka aku suka bagi aku punya kacintaan dalem kau punya hati padanya.” (hlm. 247)
“Aku punya suwami,” kata Soemarti, “tentu kau suda tau ia punya kaadaan, maka juga aku brani bicara terus terang pada kau. Betul aku suda jadi istrinya, tapi baba Liang Djin musti menikah, musti mempunyai satu istri kawin. Lambat laun hal itu musti terjadi, jika ia dapet istri yang baek, niscaya aku sendiri bisa tinggal senang, tapi jika ia dapet istri yang dengki hati, niscaya aku jadi terlantar. Sekarang aku dapet satu pikiran, tida tau kau mufakat atawa tida.”
...
“Aku ingin bikin Nona Hiang Nio dan baba Liang Djin jadi laki-istri.” (hlm. 251)
Hal tersebut telah diterapkan oleh laki-laki Tionghoa peranakan untuk mengambil perempuan pribumi sebagai nyainya, selain ia memiliki istri dari perempuan sebangsanya. Dengan memelihara seorang nyai, laki-laki tersebut bisa meninggalkannya semaunya karena tidak terikat oleh hukum perkawinan dan bukan merupakan istri yang sah. Dengan adanya pernyaian, ada beberapa alasan mengapa kaum laki-laki Tionghoa Peranakan atau bukan melakukan hal seperti itu, salah satunya yakni mengangkat perempuan pribumi menjadi gundiknya. Seperti alasan perempuan pribumi ketika dituntut menjadi seorang nyai, karena paksaan ataupun kesengajaan.
Roman-roman dalam penelitian ini pun digambarkan seberapa jauh keterlibatan orang Tionghoa menganggap perempuan pribumi layak dijadikan seorang nyai. Peniti-dasi Barlian (Tan King Tjan, 1922) menceritakan seorang laki-laki Tionghoa yang menikahi perempuan pribumi karena cinta. Laki-laki itu menghormati dan menghargai perempuan pribumi sehingga mengangkat martabat perempuan pribumi menjadi seorang istri terhormat. Pada roman Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas menggambarkan sosok Tionghoa yang memiliki tingkah laku tidak baik, menganggap perempuan pribumi itu tidak memiliki kekuasaan dan selayaknya dijadikan seorang nyai (pelacur), dan Harta yang Terpendem (Juvenile Kuo, 1928) memiliki kisah hampir sama dengan roman Kota Medan Penu dengen Impian yakni laki-laki Tionghoa yang menyia-nyiakan perempuan pribumi. Roman Njai Isah (Sie Lip Lap, 1931) menceritakan laki-laki Tionghoa yang sama dengan prinsip orang Tionghoa pada umumnya, mencari kehidupan yang lebih baik tetapi dengan cara menghormati dan menghargai perempuan pribumi sehingga tidak membedakan ras ataupun agama. Yang terakhir adalah roman Gadis Lobang Kubur (Kwee Khee Soei, 1953) sebagai kisah cinta laki-laki Tionghoa terhadap perempuan pribumi.
Dari kisah kelima roman di atas, posisi nyai sebenarnya dapat berperan dalam pergaulan sosial dengan komunitas orang Tionghoa dan semestinya seorang nyai mampu memerankan fungsi sosialnya sebagai mediator budaya yang bertugas untuk mentransformasikan nilai-nilai dua budaya yang berbeda. Nasib para nyai dalam kelima roman tersebut berada dalam keberuntungan. Mereka menjadi seorang nyai dapat dihargai oleh masyarakat pribumi, bahkan mereka mampu untuk menjadi istri selayaknya istri dari bangsa Tionghoa sendiri. Citra superior yang disandang para tokoh perempuan dalam roman tersebut dapat menggambarkan bahwa perempuan sudah selayaknya memiliki ruang sendiri untuk memperjuangkan hak-haknya dan menentang segala bentuk ketertindasan.
Dalam konteks Indonesia sebelum merdeka, jika seorang perempuan menjadi nyai (sadar atau tidak sadar) merupakan sebuah pilihan hidup yang berdimensi dengan kebudayaan dan kekayaan rohani si perempuan. Walaupun bagi sebagian orang pilihan yang seperti itu merupakan suatu aib, jauh dari tindak religiusitas, ternyata para nyai (walaupun tidak semua) mendatangkan kebaikan pada keturunannya. Berbagai alasan mendorong perempuan untuk menyebut atau dianggap masyarakat sebagai nyai. Ada yang sengaja menjadi nyai, dari lelaki yang satu ke lelaki yang lain, agar bisa hidup bersenang-senang; ada yang tersiksa batinnya ketika terpaksa menjual diri demi kebutuhan hidup, tetapi ada pula yang dengan tulus menjadi gundik karena cintanya.
Praktik pernyaian tidak dapat terlepas dalam sejarah Indonesia karena praktik pernyaian merupakan gambaran perempuan pribumi yang berperan menjadi mediasi dalam asimilasi dua kebudayaan. Para perempuan pribumi membangun sejarah di antara ketertindasan masyarakat pribumi pada masa kolonial. Nyai melawan sistem patriarki dan mensejajarkan diri dengan kaum laki-laki, bahkan mereka masuk dalam budaya tuannya dan memperoleh kesempatan untuk menempatkan diri dalam ruang publik. Laki-laki Tionghoa Peranakan yang memiliki kelas sosial tinggi tidak merendahkan para nyai yang hanya perempuan pribumi tanpa pendidikan. Selain tidak memedulikan perbedaan gender, perbedaan usia, ras, kelas sosial, agama, dan pendidikan tidak menjadi penghalang para nyai untuk menuntut hak-haknya sebagai perempuan. Dalam hal ini, para nyai pada masa kolonial merupakan perempuan dunia ketiga dan bagian dari kaum feminis multikultural.
[29] Ibnu Wahyudi, Kata Pengantar Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 7: Pernyaian dalam Kesastraan Melayu Tionghoa, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), hlm. xvi.
[30] Ibnu Wahyudi, Op Cit., hlm. 50-51.
[31] Ibnu Wahyudi, Op Cit., hlm. xviii.
[36] Myra Sidharta dalam I. Wibowo (ed), Harga Yang Harus Dibayar, Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia:Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Cina, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 109.
[37] Koko Hendri Lubis, www.waspada.co.id.
Post a Comment