Tentang Rasa dan Kebijakan
Kostan, 19 April 2004, Beranda Kostan. ”Apa gue bilang, cinta itu seperti kentut. Datangnya cepat dan perginya juga cepat. Hanya baunya saja yang menusuk di awal. Ada angin sedikit juga hilang.” Kata seorang laki-laki sambil menyalakan rokoknya yang tinggal satu batang. Dahinya mengerut, bibirnya tersenyum, tetapi terasa pahit. Sementara itu asap terus saja keluar dari mulutnya. Tubuh laki-laki itu kecil dan kurus. Sementara rambutnya panjang tak terurus. Pakaian yang dikenakannya pun cukup sederhana. Stelan jeans yang telah bolong di mana-mana dan kaus berwarna biru yang jahitannya hampir lepas. Meski begitu ia adalah pemuda pendiam dan cukup introvert. Dalam hidupnya tak pernah ada kata cinta. Tak pernah ada gadis yang singgah di hatinya. Laki-laki itu bernama Erick.
Di samping Erick duduk Rendi, pria berperawakan tegap, dengan pakaian rapi, dan rambut yang klimis duduk lemas. Ia termenung menatap langit yang mulai hitam. Ia tak menanggapi apa yang dikatakan Erick. Mulutnya tak henti mengunyah permen karet. Meski tubuh lelaki itu berada di situ, tetapi pikirannya pergi jauh ke tempat yang sangat rahasia. Tempat yang hanya diketahui oleh dirinya.
”Terus sekarang harus bagaimana?” Tanya Rendi yang baru saja kembali dari dunia khayalnya. Harapan akan jalan keluar yang baik tampak di wajahnya yang sendu. Namun pertanyaannya hanya dibalas tawa kecil oleh Erick. Wajah Rendi semakin muram menanggapi tawa kecil itu.
”Hanya diri sendiri yang tahu jawabannya, karena hanya diri sendiri yang tahu keadaan hati.” Kata Erick yang akhirnya angkat bicara, melihat Rendi sangat berharap. Rendi hanya mengangguk mendengar ucapan Erick seraya meletakkan tangannya di dahi.
”Tapi, apa kita harus mengalah dan pasrah, sementara kita diinjak-injak oleh keadaan? Apa kita harus memberi makan seekor anjing yang telah menggigit kita dan memberikan luka yang sangat dalam? Apakah harus diam saja melihat dan mengalami keadaan yang seperti itu? Sementara rasa dendam dari sakit hati yang dibuatnya berkecamuk dan membakar hati.” Rendi berbicara dengan emosi. Tangannya menggenggam kuat, hingga gelas yang dipegangnya pecah berserakan.
”Ukur seberapa baik atau seberapa buruknya jalan yang mau dilalui. Jika jalan yang ditempuh bergelombang di awal tetapi baik di akhir, itu lebih bagus jika dibandingkan jalan yang halus di awal, tetapi di akhirnya menemui jurang yang dalam. Jadi, coba pikirkan dahulu jalan yang bagaimana yang mau diambil, karena tiap jalan punya resiko masing-masing!” Sambung Erick.
Lagi-lagi Rendi hanya mengangguk. Ia masih terduduk lemas memikirkan apa yang ingin dilakukannya. Asap rokok memenuhi udara, melebur menjadi satu dengan karbondioksidan hasil pernapasan. Erick berjalan ke dalam, lalu kembali keluar dengan membawa segelas kopi hitam kesukaannya.
”Nggak ada wanita hidup masih tetap berjalan!” Kata Erick sekali lagi.
”Nggak segampang itu. Gue cinta mati bangat sama dia. Gue nggak bisa ngelupain dia gitu aja.” Rendi kembali angkat bicara. Wajahnya tampak memerah menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Tangannya terus terkepal, seolah ingin menghantam seseorang.
”Kalau dia memang jodoh, pasti nggak akan ke mana-mana. Seperti jari-jari kita ini. Jari-jari kita itu dibuat seperti ini agar pada suatu saat pasangan hidup kita dapat menggegam tangan kita. Ketika itu jari-jari kita saling mengisi dan saling melengkapi. Jadi tiap orang sudah ada jodohnya. Nggak perlu khawatir nggak dapet jodoh. Kalo dia meninggalkan kita, berarti dia bukan jodoh yang dikasih Tuhan buat kita.” Erick mengehembuskan asap rokok.
”Anggap aja dia seperti asap rokok. Hembuskan dan biarkan hilang.” Katanya lagi.
Rendi sekali lagi mengangguk, lalu pergi tanpa kata. Erick membiarkan Rendi pergi, agar ia mendapatkan ruang untuk berpikir tentang jalan yang ingin diambilnya.
Kampus, 2 Mei 2004, Koridor. Suasana malam itu sangatlah sepi. Kesepian yang tidak biasa itu mampu membuat orang bergidik ketika melintasinya. Seorang wanita berbibir tipis, cantik, berkulit putih, berambut panjang, dan tinggi semampai berjalan tergesa-gesa di lorong kampus. Wanita itu sangat ketakutan dan kepanikan yang tampak di wajahnya. Ia melewati lorong demi lorong dengan agak berlari.
Di belakang wanita itu tampak sesosok bayangan hitam menyelinap antara dinding ke dinding. Bayangan itu selalu mengikuti tiap langkah si wanita. Menyadari terus diikuti, wanita itu pun mempercepat langkahnya, sampai akhirnya ia berlari dan terjatuh. Wanita itu semakin ketakutan. Keringat mengucur deras di sekujur tubuh. Napasnya terengah-engah. Rasa lemas menjangkiti tubuhnya. Ia berteriak, tetapi tak ada secuil suara pun yang keluar dari bibir tipisnya. Ia sudah sangat putus asa dengan keadaan itu. Bayangan itu pun terus mendekat hingga akhirnya hanya berjarak beberapa meter di depan. Wanita itu pun semakin pasrah dengan apa yang terjadi.
Tiba-tiba datang seorang laki-laki dengan sepeda motornya berhenti tepat di hadapan si wanita. “Kamu kenapa, Ay?”, sapa lelaki itu heran melihatnya terduduk di tanah dengan wajah ketakutan. Tanpa banyak bicara, wanita itu pun langsung membonceng.
“Ayo jalan. Cepet jalan!”, kata wanita yang masih ketakutan itu.
Laki-laki yang amper barusan, celingak-celinguk melihat keadaan sekitar, tetapi tidak terlihat seorang pun ada di sana. Yang ada hanyalah keadaan gelap gulita.
“Udah ayo, Ay cepet jalan!”. Bentak wanita itu yang sudah sangat ingin pergi.
Motor pun langsung melaju secepat kilat menghilang di malam yang gelap. Di sudut ruang yang gelap, bayangan hitam terlihat tertunduk lesu.
Sesampainya di rumah, gadis itu masih terlihat ketakutan. Tangannya gemetar tak karuan. Airmata meleleh melintasi wajah cantiknya. Si Laki-laki masih terlihat bingung melihat keadaan si wanita. “Kamu kenapa, Ay? Kok, begitu ketakutan?”, Tanya si laki-laki.
Ta.. tadi aa.. ada, entah hantu atau orang jahat yang mengikuti aku, Ay. Untung kamu datang tepat waktu selamatin aku.”, cerita wanita itu dengan rasa ketakutan yang masih menyelimuti.
“Tadi aku lihat nggak ada apa-apa dan nggak ada siapa-siapa kok di sana, dan…”
“Tadi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri ada banyangan hitam yang terus ikutin aku, Ay.” Potong wanita itu.
Laki-laki itu pun langsung menggenggam tangan wanita itu untuk menenangkan. Kemudian memeluknya dengan erat.
“Udah, nggak usah takut, kan sekarang ada aku di dekat kamu. Jadi, ada baiknya kita nikmati saja malam ini.”
Wanita itu pun hanya diam. Tak lama kemudian laki-laki itu mulai mencium kening wanitanya. Lalu ciumannya beranjak turun ke hidung, hingga akhirnya laki-laki itu mencium halus bibir tipis wanita yang sudah tak ketakutan itu. Bibir mereka pun beradu, seperti tali-temali yang menyimpul. Mereka saling melumat bibir lawannya masing-masing. Keringat pun mulai keluar dari pori-pori bersama gairah yang semakin membuncah. Malam sunyi mulai diisi dengan desahan-desahan halus. Malam itu, mereka benar-benar telah terbakar api asmara.
Post a Comment