Sebuah penelitian terbaru menunjukkan, kehilangan seorang yang disayangi dapat meningkatkan risiko mengalami penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung atau stroke hingga dua kali lipat.
"Kami sering menggunakan kata ‘patah hati’ untuk menyebut sakit akibat kehilangan seseorang. Studi ini memperlihatkan suatu kehilangan berefek langsung pada kesehatan jantung," kata Dr Sunil Shah, dosen St George University di London wakil penulis studi, seperti dilansir Medical Daily.
Untuk keperluan studi, Shah dan rekannya mengikutsertakan pasien-pasien yang berumur 60 tahun dan baru saja kehilangan pasangannya (karena meninggal). Mereka lalu membandingkan tingkat efek samping penyakit kardiovaskular pada kelompok ini dengan kelompok lain yang terdiri atas pasien yang pasangannya tidak meninggal.
Hasil penelitian menunjukkan, pasien yang kehilangan pasangannya (selama lebih 30 hari) berisiko dua kali menderita serangan jantung atau stroke dibandingkan mereka yang tidak. Menurut para peneliti, patah hati yang fatal ini mungkin menimbulkan beberapa perubahan biologis yang berhubungan dengan masalah emosional dan trauma.
"Ada bukti dari studi lain, kalau suatu kehilangan dan kesedihan menyebabkan berbagai respons negatif termasuk perubahan dalam proses pembekuan darah, kadar hormon stres, dan kontrol detak jantung," ujar Shah. Ia menambahkan, semua hal ini berkontribusi meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke setelah kehilangan pasangan.
Menurut para peneliti, penemuan ini juga memperlihatkan signifikansi klinis pada orang yang berusia lanjut.
Studi mengenai risiko kesehatan yang tersembunyi pada usia tua ini adalah yang terbaru dalam rangka mengidentifikasi faktor-faktor kematian di seluruh populasi kaum berusia lanjut. Pada awal tahun ini, para peneliti dari University of Chicago menunjukkan temuan bahwa perasaan kesepian dan kesendirian akibat perpisahan dapat meningkatkan risiko kematian orang berusia lanjut sebesar 14 persen.
Demikian pula, sebuah studi 2013 dari Ohio State University menunjukkan bahwa kesepian dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Sementara itu, Dr Iain Carey, Senior Research Fellow dan penulis utama studi mengatakan, temuan ini akhirnya dapat membantu meningkatkan pencegahan dan penyaringan protokol.
"Kita telah melihat tanda peningkatan serangan jantung dan stroke sebulan setelah seseorang kehilangan pasangannya (karena meninggal), yang yang tampaknya akibat dari respons fisiologis buruk yang terkait dengan kesedihan akut," katanya.
Ia menambahkan, pemahaman yang lebih baik soal faktor psikologis dan sosial yang terkait dengan kejadian kardiovaskular akut dapat memberikan kesempatan untuk pencegahan dan perawatan klinis lebih baik.
"Kami sering menggunakan kata ‘patah hati’ untuk menyebut sakit akibat kehilangan seseorang. Studi ini memperlihatkan suatu kehilangan berefek langsung pada kesehatan jantung," kata Dr Sunil Shah, dosen St George University di London wakil penulis studi, seperti dilansir Medical Daily.
Untuk keperluan studi, Shah dan rekannya mengikutsertakan pasien-pasien yang berumur 60 tahun dan baru saja kehilangan pasangannya (karena meninggal). Mereka lalu membandingkan tingkat efek samping penyakit kardiovaskular pada kelompok ini dengan kelompok lain yang terdiri atas pasien yang pasangannya tidak meninggal.
Hasil penelitian menunjukkan, pasien yang kehilangan pasangannya (selama lebih 30 hari) berisiko dua kali menderita serangan jantung atau stroke dibandingkan mereka yang tidak. Menurut para peneliti, patah hati yang fatal ini mungkin menimbulkan beberapa perubahan biologis yang berhubungan dengan masalah emosional dan trauma.
"Ada bukti dari studi lain, kalau suatu kehilangan dan kesedihan menyebabkan berbagai respons negatif termasuk perubahan dalam proses pembekuan darah, kadar hormon stres, dan kontrol detak jantung," ujar Shah. Ia menambahkan, semua hal ini berkontribusi meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke setelah kehilangan pasangan.
Menurut para peneliti, penemuan ini juga memperlihatkan signifikansi klinis pada orang yang berusia lanjut.
Studi mengenai risiko kesehatan yang tersembunyi pada usia tua ini adalah yang terbaru dalam rangka mengidentifikasi faktor-faktor kematian di seluruh populasi kaum berusia lanjut. Pada awal tahun ini, para peneliti dari University of Chicago menunjukkan temuan bahwa perasaan kesepian dan kesendirian akibat perpisahan dapat meningkatkan risiko kematian orang berusia lanjut sebesar 14 persen.
Demikian pula, sebuah studi 2013 dari Ohio State University menunjukkan bahwa kesepian dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Sementara itu, Dr Iain Carey, Senior Research Fellow dan penulis utama studi mengatakan, temuan ini akhirnya dapat membantu meningkatkan pencegahan dan penyaringan protokol.
"Kita telah melihat tanda peningkatan serangan jantung dan stroke sebulan setelah seseorang kehilangan pasangannya (karena meninggal), yang yang tampaknya akibat dari respons fisiologis buruk yang terkait dengan kesedihan akut," katanya.
Ia menambahkan, pemahaman yang lebih baik soal faktor psikologis dan sosial yang terkait dengan kejadian kardiovaskular akut dapat memberikan kesempatan untuk pencegahan dan perawatan klinis lebih baik.
Post a Comment