Ilustrasi (IST/Irwan) |
Hari ini langit menghitam saat bulan menyatu dengan matahri, disaksikan ribuan pasangan yang turut mengabadikan kebahagiaan mereka. Semilir angina membelai mereka dengan lebut diiringi sinar yang perlahan meredup. Sementara itu, aku diam, terdiam, terbaring dalam ruang gelapku sendiri. Menerawang, mengkhayal, dan mendsuta.
Semua tentang seandainya, seumpama, sekiranya, dan jika. Ya, hidup terantai dengan kata-kata itu, yang mengekang, memasung, juga memenjarakan raga ini hingga tak bergerak dan rapuh.
Jika aku adalah pohon, aku adalah pohon tua yang tak memiliki daun. Kering dan mudah patah, tetapi tetap mecoba melawan badai dan terik matahari. Jika aku adalah angin, maka adalah angina lain yang selalu datang pada malam hari, lari pergi ketikan mentari kembali bersinar.
Hidupku memang penuh kegelapan, tanpa lentera dan tanpa lilin. Hanya setitik cahaya di ujung cakrawala yang membuatku merasa tenang, angkuh, kaku, dan penuh kepura-puraan. Aku pura-pura untuk tidak menyukai berbagai hal yang menyenangkan. Aku bohong pada diriku sendiri bahwa aku tidak menyukai siapa pun, sebab aku iri pada mereka. Aku iri akan ketangguhan dan kebahagian mereka, sementara aku rapuh dan tak bisa merasakan kebahagiaan itu.
Cahayaku redup bersama mentari hari ini. Akan tetapi nasib kami jauh berbeda. Ya, sangat jauh berbeda!
Jika redupnya mentari justru menjadi fenomena yang menarik perhatian semua orang, maka redup diriku adalah kematian dalam temaram. Seperti sampah aku terbuang di pojok lorong hingga tak ada satu pun yang menghampiri, bahkan hanya untuk menolehkan wajahnya kepadaku.
Kadang kala aku menangis dan memohon kepada Tuhan untuk segera dipertemukan dengan seseorang yang aku cintai. Akan tetapi, bodohnya diriku, ketika ada sekuntum bunga yang menarik perhatianku dan menumbuhkan benih-benih itu, kemudian ingatan hitam itu kembali datang menghantui, aku kalah dan menyerah.
Jika ia tiba, maka aku akan terus berlari menjauh hingga tak terlihat. Mengurung diri dalam hutan yang tak terjamah siapa pun. Menghilang dalam diam, menghitam dalam temaram.
Sekarang aku pasrah. Aku tak berani untuk memiliki keinginan. Hidupku kini hanya sesederhana angin yang berembus yang menjadi panas ketika mentari memanas dan menjadi dingin ketika mentari bersembunyi, tanpa musim semi, tanpa musim gugur, dan tanpa musim dingin.
Dari sebuah jendela kecil kumelihat mereka tertawa lepas, seolah tanpa beban hidup. Berlari ke sana kemari, melaju melawan angin dan menerobos dinding kokoh. Mereka hidup, mereka lepas, mereka bahagia, dan aku menginginkannya. Aku benar-benar menginginkannya. Menginginkan kehidupan itu juga terjadi padaku. Tapi… aku takut.
Matahari kini sudah bersinar. Nampaknya bulan sudah selesai melampiaskan rasa kangennya pada mentari. Aku pun sudah benar-benar terjaga saat ini. Secara fisik mungkin, tetapi pikiranku masih saja dalam dunia mimpi.
Kuseduh kopi hitam, kopi yang serupa dengan jalanku. Sebatakang kretek tetap setia menemaniku dalam bertarung dengan sebuah layar. Kupukulkan jemariku berulangkali untuk melukiskan ribuan kata, atau ratusan kalimat. Mungkin hanya beberapa wacana. Wacana yang kadang tak kumengerti , malahan mungkin wacana yang sebenarnya tak ingin kumengerti. Tapi tetap kulakukan hanya untuk mengisi rutinitas hari yang selalu menjadi berat bagiku.
Baru akan memulai, pikiranku kembali melayang. Seperti kanvas rem yang menghentikan laju kendaraan, keadaan itu menghentikan jemariku.
“Masa hidup gue seperti ini? Apa gue mau seperti ini terus sampai ajal menjemput?” kataku dalam hati saat mengingat gambar-gambar yang menunjukkan betapa bahagianya orang lain, yang tiba-tiba muncul di dalam tengkorak kepala.
“Seandainya ada seseorang yang mencintaiku… Seandainya ada seseorang yang menyukaiku… Tidak mungkin. Mungkin lebih baik seperti ini, seandainya ada seseorang yang mau menerima aku… Tidak juga,” kataku mengoreksi pikiranku sendiri.
“Mungkin lebih tepat seperti ini. Seandainya aku mati, masih mungkinkah ada orang yang menangisiku atau sekadar mengasihaniku?” kataku dalam hati.
“BODOH!! BODOH!!! BODOH!!” sesalku seraya menampar pipiku sendiri. “Akan ada harapan nanti! Pasti!!” lanjutku mengingatkan diri sendiri.
Kulanjutkan rutinitasku, tapi masih terasa hambar karena lamunan tadi masih saja menggoda. Kata-kata yang terbentuk juga terasa tak bernapas, hambar, bahkan terkesan sangat kaku. Tapi kupikir kubiarkan saja untuk hari ini. Kubiarkan seperti ini, toh tak selamanya orang akan berada di dalam kondisi terbaiknya. Aku pun seperti itu saat ini.
Setelah ini selesai, aku akan menyibukan diri dengan hal lain. Hal baru yang bisa kupelajari. Biarkan senang-senang menjadi angan saat ini. Toh aku masih terlalu miskin untuk meminang seorang bidadari, bahkan jika hanya untuk menyatakan cinta padanya, saat ini.
Biarlah, meski sunyi akan kutunggu bidadari itu turun di antara redupnya mentari.
Post a Comment