Hari ini Teater Koma berusia 39 tahun. Bukan usia yang muda dan mudah bagi kelompok teater yang terus berusaha menghadirkan lakon dari panggung ke panggung.
Teater Koma kerap mengkritik kondisi sosial politik di Tanah Air dalam pentasnya, membuat mereka harus menghadapi pencekalan oleh pihak berwenang pada masa Orde Baru.
Beberapa pertunjukan mereka pernah dilarang, termasuk di antaranya "Suksesi", "Sampek Engtay", "Opera Kecoe", dan "Maaf.Maaf.Maaf".
Namun, itu tak menyurutkan semangat mereka. Teater Koma juga tetap berkibar meski gelombang pasang surut pendanaan sempat menerpa.
"Kami memiliki anggota yang setia, juga penonton yang setia," kata Nano Riantiarno, salah satu pendiri Teater Koma, tentang faktor kunci yang membuat teater bisa bertahan hingga kini.
"Kami melihat kebutuhan masyarakat, apa yang harus dilihat masyarakat," tambahnya.
Masih disegani
Teater Koma dibentuk oleh 12 pekerja teater yang disebut angkatan pendiri, yakni Nano Riantiarno, Ratna Riantarno, Rima Melati, Rudjito, Jajang Pamontjak, Titi Qadarsih, Syaeful Anwar, serta Gini Goenarwan, Jimi B. Ardi, Otong Lenon, Zaenal Bungsu, dan Agung Dauhanadalah.
Hingga usia 39 tahun, Teater Koma masih menjadi kelompok teater yang disegani. Pentasnya selalu dinantikan.
Bergabung dengan kelompok teater tersebut bukan hal mudah. Teater itu menyeleksi ketat para pemainnya, lalu memberlakukan masa percobaan selama enam bulan. Para pemain Koma juga wajib bisa menyanyi.
"Di sini ada tujuh orang anak dari pemain, itu regenerasinya. Memang susah masuk Teater Koma, tetapi kalau belum diterima jadi pemain, bisa jadi kru dulu. Mental harus kuat," jelas Nano.
Melanjutkan Perjalanan
Nano dan istrinya Ratna melanjutkan perjalanan Teater Koma.
Latihan yang sebelumnya dilakukan di rumah orangtua Ratna, sejak tahun 1995 dialihkan ke rumah pasangan itu.
Rumah Nano dan Ratna di kawasan Bintaro tidak pernah sepi. Di sana semua lakon Teater Koma dicipta.
Perpustakaan milik Nano menjadi tempat penciptaan lakon-lakon Teater Koma. Ribuan buku yang berjejer rapi dan diatur sesuai kategori menjadi saksi lahirnya naskah cerita-cerita Teater Koma.
Nano, yang pernah bekerja bersama Teguh Karya dan ikut membentuk Teater Populer tahun 1968, menulis sendiri sebagian besar lakon yang ditampilkan Teater Koma serta menjadi sutradaranya.
Ia menulis lakon-lakon Koma di satu komputer tanpa koneksi Internet yang tak boleh disentuh oleh siapapun di ruang perpustakaan yang penuh dengan buku serta jejeran piagam penghargaan dan foto-foto keluarga Nano.
"Tidak ada yang boleh otak atik karena naskah saya di sana semua," ungkap Nano, yang menyimpan rapi semua lembaran naskah di ruangan khusus dokumentasi sejak lakon pertama Teater Koma.
Di antara naskah-naskah itu, ada yang membuat dia harus menghadapi interogasi, pencekalan dan pelarangan serta ancaman bom ketika akan dipentaskan. Tapi Nano dan Teater Koma tidak pernah gentar.
Tetap Koma
Nano mengatakan bahwa persoalan di Indonesia terlalu banyak dan itu yang membuat lakon-lakon Teater Koma berdurasi minimal tiga jam.
"Saya dari dulu ingin bikin pertunjukan dua jam saja tetapi tidak pernah bisa, karena persoalan banyak banget," ujar pria kelahiran 6 Juni 1949 itu.
Bagi Nano, yang juga seorang novelis, teater adalah ilmu pengetahuan. Lewat teater orang mempelajari sejarah manusia.
"Orang kalau masuk teater sangat serius. Saya 50 tahun di teater enggak kemana-mana, pernah sutradarai film tapi karena teater penting jadi saya tinggalkan. Padahal teater tidak cukup untuk hidup," ujar pensiunan wartawan dan pemimpin redaksi majalah Matra itu.
Ia berharap pemerintah melihat teater sebagai sebuah kesungguhan.
"Kami juga tengah memperjuangkan agar teater masuk dalam kurikulum di sekolah-sekolah dan berharap teater semakin disukai banyak orang di Indonesia," tutur Nano.
"Semoga di usia 39 tahun ini Teater Koma tetap menjadi koma sehingga masih ada tahun-tahun berikutnya," kata Ratna.
Post a Comment