Hari ini langit menghitam saat bulan menyatu dengan matahri, disaksikan ribuan pasangan yang turut mengabadikan kebahagiaan mereka. Semilir angin membelai dengan lebut diiringi sinar yang perlahan meredup. Sementara itu, aku diam, beku, terbaring dalam ruang gelapku sendiri. Menerawang, mengkhayal, dan mendsuta.
Semua tentang seandainya, seumpama, sekiranya, dan jika. Ya, hidup terantai dengan kata-kata itu, yang mengekang, memasung, juga memenjarakan raga ini hingga tak bergerak dan rapuh.
Jika aku adalah pohon, aku adalah pohon tua yang tak memiliki daun. Kering dan mudah patah, tetapi tetap mecoba melawan badai dan terik matahari. Jika aku adalah angin, maka
adalah angin laut yang selalu datang pada malam hari, lari pergi ketikan mentari kembali bersinar.
Hidupku memang penuh kegelapan, tanpa lentera dan tanpa lilin. Hanya setitik cahaya di ujung cakrawala yang membuatku merasa tenang, angkuh, kaku, dan penuh kepura-puraan. Aku pura-pura untuk tidak menyukai berbagai hal yang menyenangkan. Aku bohong pada diriku sendiri bahwa aku tidak menyukai siapa pun, sebab aku iri pada mereka. Aku iri akan ketangguhan dan kebahagian mereka, sementara aku rapuh dan tak bisa merasakan kebahagiaan itu.
Cahayaku redup bersama mentari hari ini. Akan tetapi nasib kami jauh berbeda. Ya, sangat jauh berbeda!
Jika redupnya mentari justru menjadi fenomena yang menarik perhatian semua orang, maka redup diriku adalah kematian dalam temaram. Seperti sampah aku terbuang di pojok lorong hingga tak ada satu pun yang menghampiri, bahkan hanya untuk menolehkan wajahnya kepadaku.
Kadang kala aku menangis dan memohon kepada Tuhan untuk segera dipertemukan dengan seseorang yang aku cintai. Akan tetapi, bodohnya diriku, ketika ada sekuntum bunga yang menarik perhatianku dan menumbuhkan benih-benih itu, kemudian ingatan hitam itu kembali datang menghantui, aku kalah dan menyerah.
Jika ia tiba, maka aku akan terus berlari menjauh hingga tak terlihat. Mengurung diri dalam hutan yang tak terjamah siapa pun. Menghilang dalam diam, menghitam dalam temaram.
Sekarang aku pasrah. Aku tak berani untuk memiliki keinginan. Hidupku kini hanya sesederhana angin yang berembus yang menjadi panas ketika mentari memanas dan menjadi dingin ketika mentari bersembunyi, tanpa musim semi, tanpa musim gugur, dan tanpa musim dingin.
Dari sebuah jendela kecil kumelihat mereka tertawa lepas, seolah tanpa beban hidup. Berlari ke sana kemari, melaju melawan angin dan menerobos dinding kokoh. Mereka hidup, mereka lepas, mereka bahagia, dan aku menginginkannya. Aku benar-benar menginginkannya. Menginginkan kehidupan itu juga terjadi padaku. Tapi… aku takut.
Matahari kini sudah bersinar. Nampaknya bulan sudah selesai melampiaskan rasa kangennya pada mentari. Aku pun sudah benar-benar terjaga saat ini. Secara fisik mungkin, tetapi pikiranku masih saja dalam dunia mimpi.
Kuseduh kopi hitam, kopi yang serupa dengan jalanku. Sebatakang kretek tetap setia menemaniku dalam bertarung dengan sebuah layar. Kupukulkan jemariku berulangkali untuk melukiskan ribuan kata, atau ratusan kalimat. Mungkin hanya beberapa wacana. Wacana yang kadang tak kumengerti, malahan mungkin wacana yang sebenarnya tak ingin kumengerti. Tapi tetap kulakukan hanya untuk mengisi rutinitas hari yang selalu menjadi berat bagiku.
Baru akan memulai, pikiranku kembali melayang. Seperti kanvas rem yang menghentikan laju kendaraan, keadaan itu menghentikan jemariku.
“Masa hidupku seperti ini? Apa aku mau seperti ini terus sampai malaikat maut datang?” kataku dalam hati saat mengingat gambar-gambar yang menunjukkan betapa bahagianya orang lain, yang tiba-tiba muncul di dalam tengkorak kepala.
“Seandainya ada seseorang yang mencintaiku… Seandainya ada seseorang yang menyukaiku… Tidak mungkin. Mungkin lebih baik seperti ini, seandainya ada seseorang yang mau menerima aku… Tidak juga,” kataku mengoreksi pikiranku sendiri.
“Mungkin lebih tepat seperti ini. Seandainya aku mati, masih mungkinkah ada orang yang menangisiku atau sekadar mengasihaniku?” kataku dalam hati.
“BODOH!! BODOH!!! BODOH!!” sesalku seraya menampar pipiku sendiri. “Akan ada harapan nanti! Pasti!!” lanjutku mengingatkan diri sendiri.
Kulanjutkan rutinitasku, tapi masih terasa hambar karena lamunan tadi masih saja menggoda. Kata-kata yang terbentuk juga terasa tak bernapas, hambar, bahkan terkesan sangat kaku. Tapi kupikir kubiarkan saja untuk hari ini. Kubiarkan seperti ini, toh tak selamanya orang akan berada di dalam kondisi terbaiknya. Aku pun seperti itu saat ini.
Setelah ini selesai, aku akan menyibukan diri dengan hal lain. Hal baru yang bisa kupelajari. Biarkan senang-senang menjadi angan saat ini. Toh aku masih terlalu miskin untuk meminang seorang bidadari, bahkan jika hanya untuk menyatakan cinta padanya, saat ini.
Biarlah, meski sunyi akan kutunggu bidadari itu turun di antara redupnya mentari.
***
Sepintas terbayang diingatakanku, gadis kecil berbibir tipis. Kiranya telah beberapa tahun lalu tak lagi kujumpai dia atau sekadar menyambangi rumahnya untuk tetap memanjangkan tali keluarga. Meski kata leluhur dan ajaran agama menjaga tali kekeluargaan itu penting, akan tetapi, entah kenapa semenjak hari itu, aku tak memiliki keinginan kuat seperti sebelumnya untuk kembali bertemu, menatap wajahnya, atau hanya sekadar berbagi pesan dengannya. Yang menambahkan aneh adalah semakin aku menatap fotonya, semakin bertambah ketidaksukaanku padanya.
Padahal kala itu, ketika aku menyambanginya tepat seminggu setelah hari raya Idul Fitri, dia dan aku kembali bertemu muka setelah satu tahun tak berjumpa. Dia duduk di kursi panjang sebelah kiri yang menjadi tempat favoritnya, sementara aku duduk di tempat favoritku, kursi yang hanya cukup untuk diduduki oleh satu orang yang posisinya tidak pernah berubah sedari pertama kali aku mengunjungi rumahnya dalam hidupku.
Senyumannya masih menggoda seperti biasa. Aroma ruang masih berbau bunga lili, anggrek, dan mawar, persis seperti yang tiap kali aku kunjungi di tahun-tahun sebelumnya. Semerbak wangi minyak telon yang selalu menjadi aroma yang membuatku kangen padanya pun masih memasuki rongga hidungku dengan mulus. Semuanya masih sama, itulah yang membuatku mengenang masa lalu yang menyenangkan bersamanya.
Akan tetapi, semuanya hilang ketika mataku dan matanya untuk pertama kali setelah sekian tahun bertemu. Secara tiba-tiba penglihataku menghilang, sekejap gelap menyelubungiku, didahului dengan berkunang-kunang dan kepala terasa pening. Meski sekejap, itu cukup membuatku panik dan dengan cepat memalingkan wajah. Refleks, aku membaca istighfar dalam hati sebanyak mungkin yang aku bisa. Entah berapa kali, aku tak menghitungnya.
Tak lama kemudian, aku pun pamit. Ia mencoba menahanku, tapi aku tetap memilih untuk pulang karena aku merasa ada yang aneh dengan debaran jantungku. Itu yang kuingat saat terakhir kali aku bertemu dengannya dan sejak saat itu, perlahan aku aku mulai merasa sakit hati padanya, meski ia tidak berbuat kesalahan apa pun.
Hubungan melalui ponsel sempat berjalan beberapa waktu, tetapi setiap kali ia mengirimkan pesan, di saat yang bersamaan bertambah pula keinginanku untuk tidak membalasnya, bahkan keinginan untuk menghapus kontaknya dari teleponku semakin besar. Tanpa pikir panjang, aku menghapusnya dengan cepat dari telepon serta jejaring sosial.
Aku mulai berserapah terkait dirinya, yang sebenarnya hanya untuk meringankan sakit hati padanya. Tapi sakit hati dari apa? Itu yang aku pertanyakan pada diriku saat ini. Aku bukan kekasihnya. Meskipun aku pernah begitu mencintai dan sempat menyatakan ingin menikahinya, tetapi saat itu aku ikhlas untuk meninggalkannya dan secara terang-terangan menyatakan menyerah untuk mewujudkan perjuanganku selama bertahun-tahun.
Bahkan aku sempat menuliskan rangkaian kata yang ketika kulihat lagi, begitu memalukan yang kuberi judul "Jangan, Jangan Kau Ingat!!".
Seksinya dunia pernah kita lalui dengan senyum dan gairah. Panas yang membakar justru membuat kita semakin menikmatinya. Meski perlahan, kita lintasi liukan dunia dan embusan napasnya yang beraroma. Dingin yang membeku menjadi tempat kita menyalakan api. Seribu jarum yang menusuk dari langit, kita lalui dengan menggigil tapi dengan hati yang hangat. Tak peduli jurang... Tak peduli sungai yang dalam... Tak peduli kerikil tajam... Kita tetap tapaki, lalui, dan terjangAnehnya lagi, aku tidak bisa menyukai wanita mana pun sejak saat itu. Setiap kali aku mendekati wanita, entah kenapa wanita-wanita itu, menurut perasaanku, justru pergi menjauh. Seolah mereka melihat hantu atau takut padaku. Perlahan tapi pasti, aku mulai mendingin dan mulai takut jika didekati wanita, apalagi untuk mendekati mereka. Mungkin karena umur yang semakin bertambah dan rasa percaya diri yang terus berkurang. Ditambah lagi, karierku seratus delapan puluh persen berbalik. Aku hancur di semua lini di hidupku, karier, percintaan, bahkan aku mulai mempertanyakan pertemananku sendiri yang "seperti sebatas pamrih".
Kau ingat itu? Tidak, kurasa tidak. Aku hanya coba untuk mengatakannya, itu saja. Tak perlu juga kau berusaha mengingatnya jika hanya untuk mencoba menyenangkanku
Ingatkah kau saat terjatuh? Menangis di pelukanku seolah seksinya dunia sekejap hilang di hadapanmu. Kau tahu, ketika itu hatiku teriris. Pedang pun seolah menghujam jantungku tepat setelah air matamu terjatuh. Aku kuatkan diri dan menampar pipimu. Agar kau terbangun dari mimpi buruk itu.
Kau ingat itu? Jangan, jangan kau ingat. Tak ada yang perlu diingat dari cerita usang itu.
Kau kini sudah berdiri tegak menatap mentari dengan senyuman. Mengguratkan garis-garismu sendiri dengan madu yang teramat manis di atas kanvas baru yang diberikan sang pangeran padamu.
Aku khawatir, jika kau mengingatnya hidupmu akan menjadi pahit. Lebih baik jangan, sebab aku tak ingin menularkan kepahitan yang sedang kunikmati ini padamu. Aku terlanjur mencair menjadi lumpur. Sebagian tubuhku sudah hilang dan hanya menyisakan kepala iniMungkin juga, sebagian pikiranku telah lenyap bersamaan dengan logika yang tercecer dalam perjalan lalu.
Yang tersisa hanyalah mimpi, ya mimpi yang selalu menghadirkan kamu. Itu sudah cukup untuk membuatku hidup, setidaknya hingga saat iniJika tak ada lagi mimpi, mungkin itulah tanda di mana aku telah seutuhnya menjadi lumpur. Menyatu dengan cacing dan melebur dengan berbagai hara seksinya dunia yang pernah terjalani
Aku stres, malu, dan merasa bertanggung jawab pada keluargaku. Sejak saat itulah aku mengurung diri di ruang yang kusebut gelap ini. Ruang yang tak tersentuh cahaya. Ruang tempatku berdoa, menangis, tertawa, dan berkarya.
***
Pagi hampir tiba, tapi bidadari yang kutunggu di tengah malam dan hujan ternyata tak kunjung datang. Padahal aku telah memberikan sisa harapan yang kumiliki saat ini. Harapan terakhir yang kujaga dan kulindungi selama ini, cermin yang berisikan semangat. Tapi kini kembali pecah setelah lama aku mencoba menambal dan merangkainnya satu demi satu agara kembali menjadi utuh.
Demikian pula dengan angan, telah bercecer di tanah becek malam ini. Aku pasarah, diam, dan termenung.
"Mungkin dalam perjalanannya ia telah bertemu sinar yang indah, yang kemudian menarik perhatiannya untuk singgah. Di antara sinar itu, terlihatlah semua kemanisan yang menggoda hingga akhirnya menyisakan aku dalam kelupaan. Ruang di ujung lorong di mana kalbu perlahan menempa batu-batu kokoh untuk dimusnahkan," kataku dalam hati.
"Dan di sana pula suara-suara sumbang telah membunuh sosok diriku yang hadir dalam bayangannya, lalu menggantinya dengan sosok yang diinginkan suara sumbang itu. Yup, dengan begitu, aku pun mati dalam nyata dan bayangannya," lanjutku merenung.
"Kalau benar demikian, biarlah. Aku akan pulang dan kembali bermain bersama mimpi. Akan kubiarkan mimpi kembali membelaiku dengan lembut hingga aku bosan atau aku terhanyut di dalamnya untuk selamanya," kataku dalam langkah menggigil menyusuri air yang mulai menghadirkan lumpur.
Malam sudah hampir menguning dan kembali mengirimku dalam ruang gelap di mana egoku terkunci. Di mana diriku tak terlihat. Di mana hanya ada setitik cahaya yang masuk.
Kurebahkan diriku, berharap bertemu dengan mimpi manis agar lelapku pun menjadi manis. Terselip di dalam pikiran, "biarlah, jika kalbu harus meninggalkan raga saat pagi menjelang. Aku telah siap. Tak ada lagi yang kuinginkan dan yang akan bisa kucapai. Aku lelah berharap. Aku siap!"
Kupejamkan mata seiring napas yang mulai melambat. Detak jantung mengikuti di sela-selanya. Semakin lambat dan terus melambat.
Meski demikian, berbeda dengan pikiran. Pikiran ini ternyata tidak mau melambat. Ia tetap berlari dan bertualang. Meloncat ke sana ke mari semaunya. Kadang meloncat ke ruang penuh dendam yang memaksa diriku untuk mengikutinya memukul sesuatu atau merelakannya.
Selesai di ruang dendam, pikiran itu segera mengajakku melompat ke ruang angan yang penuh dengan buaian, gula-gula, dan bayangan mesum. Tak sampai selesai, pikiran segera meluncur ke ruang yang penuh dengan daftar yang bisa dikerjakan. Di mana rencana berkumpul menjadi satu yang kemudia silih berganti memunculkan diri lalu hilang saat diganti dengan rencana lain. Tak selesai, pikiran mengajakku melompat kembali ke ruang-ruang lain.
Aku pun terus melompat ke berbagai ruang bersama pikiranku. Napas kembali terpacu beriring detak jantung yang mengikutinya. Lelap hanya jadi mimpi. Aku seratus persen sadar meski belum tertidur sejak seminggu yang lalu.
"Apa lagi ini. Tidur pun aku tak bisa... Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Ini surat terbuka untukmu, yang meminta agar Engkau menunjukkan jalan yang harus aku lalui. Aku... aku membutuhkan pertolonganmu segera!"
Lentera menyala perlahan, lalu kupadamkan dengan tiupan. Kunyalakan kembali agar dapat menikmati sinarnya yang perlahan merambat ke seluruh ruang, lalu kembali kupadamkan dengan tiupan. Setelah itu, aku diam. Menunggu, terpaku, menatap langit yang hari ini menyajikan bintang sebagai hidangan.
Pendar-pendar bintang terasa berbeda-beda tiap detiknya. Merah, biru, hijau, putih, dan semakin memfokuskan mata untuk melihatnya semakin jelas perubaha-perubahan itu. "Sungguh luar biasa ia. Di tengah gelapnya angkasa mampu memberikan sinarnya yang begitu indah meski hanya setitik. Mampu menunjukkan identitasnya, meski belum pernah dijamah, bahkan teramat jauh dari tangan-tangan kotor manusia yang penuh lumpur. Seperti aku ini. Ya, aku lumpur."
Terdengar beberapa gadis kecil berkeliaran di luar sana, tertawa, bercengkrama, menunjukkan kegenitan mereka yang mulai tumbuh seiring dengan mulainya masa remaja mereka. Padahal, ketika aku sudah mengenal indahnya bunga, mereka masih ingusan.
Namun, seiring waktu berjalan mereka sudah tumbuh menjadi remaja. Itu juga menandakan aku semakin dekat dengan masa akhir. Masa di mana semua akan berakhir. Terbisik lagi seiring angin yang sejenak melintas, akan sesuatu yang kuminta dari Tuhan.
"Belum ada jawaban dari Tuhan... belum ada kabar dari siapa atau apa pun. Mungkin karena aku tidak memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang secara implisit telah ditunjukkan-Nya?"
Tak merasa bertenaga, kusandarkan punggungku pada dinding batu ini. Kulapangkan kakiku dan membiarkannya menjulur, sebab sejak tadi aku sudah menekuknya hingga aliran darahku sempat terhenti dan menghilangkan rasa.
Lagi dan lagi, keretek serta sebatang korek jadi pengobat sunyi, meski kadang merasa sangat bodoh mempercayakan semua pada nyala api hanya sampai dedauan itu terbakar habis. Tapi aku tetap menikmatinya, sebab hanya inilah satu-satunya sahabat sejati.
Kusulut keretek itu, namun ia tak mau terbakar. Aku mulai tersenyum sebab ketika itu terjadi maka seni dari kretek mulai kembali tersaji. Kalau tidak ada batang besar di dalamnya, pasti daunnya tidak terpaket rapi. Tapi itu mungkin. Itu hanya teori sendiri.
Namun, senyum itu hilang ketika bayangan kembali datang. Bayangan yang selalu saja hadir di saat yang tidak tepat.
"Mungkinkah aku harus mengetahui diriku sendiri agar aku dapat mengenal dan mendapatkan pertolongan-Nya?" sunyi merambat di antara angin yang bertiup dingin ketika pikiran kembali mengutarakan keinginannya.
Burung malam mulai berkicau, berkelebat dalam gelap lalu lenyap. Hanya suaranya yang tertinggal, itu pun lambat laut tertelan senyap, menyisakan aku yang tak termenung, tak melamun, tetapi tidak juga bergerak melangkahkan penopang raga.
Mencari kilasan pikiran dan menjentikan jari lah yang kulakukan. Meski sekali-sekali menekankan jari itu di antara kedua mata.
"Hitam tak bisa disamakan dengan gelap. Putih tak dapat dipertukarkan dengan cahaya. Hitam dan putih berbeda dengan cahaya dan kegelapan. Hitam dan putih hanyalah warna yang akan terlihat jika terang hadir. Jika dalam kegelapam, putih pun akan mejadi hitam dan hitam akan tetap hitam. Begitu juga dengan warna lainnya," tiba-tiba besitan pikiran itu muncul.
"Mungkinkah ini jawaban? Ketika aku berpikir gelap, maka aku tidak akan melihat apa pun. Tidak akan mengetahui yang mana hitam dan yang mana putih, atau warna lainnya. Sebab, telah menjadi sifat gelap untuk menelan seluruh warna."
"Tapi... gelap adalah suatu keadaan di mana cahaya pergi. Berarti gelap dan cahaya berada dalam satu ruang, bilamana cahaya ada maka gelap akan menghilang, dan begitu juga sebaliknya," kataku melanjutkan.
"Tidak... tidak seperti itu! Kalau teorimu seperti itu, cahaya dan gelap jadi berseberangan. Seharusnya, mereka saling bekerja sama dan akan selalu hadir bersama-sama. Mereka adalah dua di dalam satu," ralat sebuah suara yang muncul dalam pikiran, meski sama sekali tidak terdengar sedikitpun dengan telinga.
"Maksudmu?" tanyaku.
"Cobalah renungkan. Ketika mentari menyentuhkan cahayanya pada benda-benda yang ada di bumi, maka akan terbentuk daerah gelap di belakang benda itu, yang disebut bayangan. Berkurangnya cahaya berbanding lurus dengan bertambahnya daerah gelap itu. Cahaya dan gelap adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di mana ada cahaya pasti ada kegelapan, di mana ada kegelapan pasti ada cahaya. Itu hukum alam. Jika ingin menghilangkan kegelapan, makan hilangkanlah cahaya. Dunia pun tidak akan pernah ada. Termasuk kamu," suara itu menjelaskan.
"Betul juga. Di mana ada kegelapan, di sana pula cahaya pasti ada. Seperti aku dan kamu. Aku gelap, kamu cahaya," kataku.
"Tidak seperti itu," jawabnya. "Yang mengatakan yang mana gelap atau cahaya itu hanya manusia. Bukan, aku. Aku hanya perpanjangan pikiranmu. Aku hanya imagi dari kehidupan. Duniamu dan duniaku berbeda meski sama-sama dalam satu ruang. Seperti cahaya dan gelap yang benar-benar ada," katanya melanjutkan.
Aku terdiam, tak menjawab. Tak ingin melanjutkan dialog yang seduah kuketahui jawaban selanjutnya. Sama seperti halnya ketika berada di sebuah diskusi, baik diskusi tatap muka atau melalui dunia maya, aku lebih memilih diam ketika arah jawabannya sudah pasti aku ketahui. Entah mengapa aku merasa tidak perlu jawaban dari orang lain untuk memperjelas jawaban yang kumiliki, sebab jawaban orang lain pasti dari orang lain pula yang mereka kutip dan utarakan kembali. Aku memang egois untuk tetap menjaga keorisinalan pikiranku dengan pemikiran-pemikiran lain yang belum tentu benar. Meski pemikiranku juga belum tentu benar.
Asap menyembul dan memenuhi ruang udara. Tak terlihat dalam gelap, tapi terasa keberadaannya. Seperti ketika aku berdialog dengan sesuatu yang tak terlihat sosoknya dan tak terdengar pula suaranya. Tetapi, merasa yakin akan keberadaannya juga dialog itu.
"Aku merasa yakin hal itu benar-benar kulakukan, atau aku memang telah benar-benar gila. Tapi aku yakin aku tidak gila, mungkin hanya tergoda oleh angan dan bayang. Itu saja. Jadi jangan anggap aku gila, sebab menurutku setiap manusia memiliki kadar kegilaannya masing-masing. Yang tidak sejalan dengan pemikirannya pasti akan dianggap gila," tuturku entah pada siapa.
Aku rebahkan diriku ketika malam semakin tinggi. Tubuh nampaknya sudah tak berdaya melawan waktu. Istirahat sejenak agar esok dapat melanjutkan kembali lebih baik daripada menyelesaikan semuanya hari ini dan terhenti. Tapi...
"Jangan katakan tapi. Sudah banyak kata tetapi yang kau ujarkan di sini."
"Meski hidup tidak lebih baik daripada mati, hidup dapat memberikan harapan lebih, terutama dalam menentukan keberadaanmu nanti. Jika kamu tetap menyakini Tuhan."
Pagi pun tiba, tak seperti biasa aku terbangun lebih awal hari ini ataukah aku sudah mati? Sebab ini luar biasa, aku tak pernah bangun sepagi ini...
Post a Comment