1. Fase Kesadaran sebagai Objek Pengetahuan Diri Manusia
Pernah suatu ketika dalam pertemuannya dengan tentara Spanyol seorang Indian berkata bahwa “Kami heran, kenapa kalian mengatakan berpikir itu dengan menggunakan ini,” sembari menunjuk ke kepalanya, “Sedang kami mengatakan berpikir itu dengan menggunakan ini,” sambil menujuk ke ulu hatinya. Percakapan ini menyiratkan pada kita tentang perbedaan dari cara berpikir modern—yang diwakili oleh bangsa Spanyol—dan cara berpikir pramodern—yang diwakili oleh bangsa Indian. Inilah perbedaan antara rasionalitas yang lebih sering menjadi dasar dari modernisme, dan intellectus yang lebih sering dipakai oleh para pemikir pramodern.
Masyarakat modern seringkali digambarkan sebagai masyarakat yang diwarnai kapitalisme dan pemisahan antara dunia dan akhirat (sekularisme). Bahkan teori moralitas modern—sesuai dengan pemikiran jaman Pencerahan yang kini tidak lagi diterima—masih percaya akan konsep kemajuan historis yang secara linier menuju ke arah cara hidup masyarakat komersial sebagai kemajuan peradaban. Dunia modern memunculkan konsep-konsep moralitas tertentu, namun juga mencabut alasan-alasan untuk sungguh-sungguh menerima konsep-konsep tersebut. Modernitas membutuhkan moralitas, maupun membuat moralitas mustahil. Bernard James bahkan mengatakan bahwa modernitas memiliki kekuatan maut yaitu ‘kebudayaan progres modern’ dan kekuatan tersebut harus dihancurkan sebelum ia menghancurkan seluruh umat manusia.
Istilah modern berasal dari kata Latin, modo , yang berarti “barusan”. Istilah ini muncul ketika Suger, seorang kepala biarawan, merekonstruksi basilika St. Denis di Paris pada sekitar tahun 1127. Gagasan arsitekturalnya menghasilkan suatu gaya yang belum pernah tampak sebelumnya, satu “tampakan baru” yang bukan Yunani, Romawi, maupun Romanesque. Ia tidak tahu bagaimana menamainya, hingga dia melirik istilah Latin, opus modernum yang berarti sebuah karya modern.
Konsep ‘modernisme’ pada umumnya selalu dikaitkan dengan fenomena dan kategori kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan estetika atau gaya. Konsep ‘modern’ sering dikaitkan dengan penggal sejarah atau periodisasi. Sementara, konsep ‘modernitas’ digunakan untuk menjelaskan totalitas kehidupan. Awal dari dunia modern seringkali dinisbatkan kepada renaissance dianggap sebagai awal dari perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang ‘humanisme’; sebagai tantangan terhadap kepercayaan keagamaan Abad Pertengahan juga sebagai satu bentuk pendewaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah manusia. Semangat Renaissance jelas sekali diwakili oleh pemikiran Descartes, dan melalui wawasan ‘humanisme’nya menjadikan manusia—dengan segala kemampuan rasionalnya—sebagai ‘aku’ (subyek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia.
Wawasan humanisme Cartesian, dalam hal ini, bersifat sangat mekanistis, dalam pengertian rasionalitas dijadikan sebagai ukuran tunggal ‘kebenaran’, dan ‘mesin’ dijadikan sebagai paradigma, dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan kekuasaan. Pengertian ‘subyek’ dalam wawasan humanisme-rasional Cartesian ini, menurut David Michel Levin, sebenarnya penuh dengan kekaburan dan paradoks oleh karena di satu pihak penyanjungan kemampuan akal budi manusia, yang menjadikan manusia sebagai subyek yang merdeka, self-determination dan self-affirmatio n; merupakan awal dari keterputusan manusia dari Tuhan; di lain pihak, konsep rasional ini justru diandalkan oleh Descartes sebagai perangkat untuk membuktikan eksistensi Tuhan itu sendiri.
Apa yang disebut dengan ‘Pencerahan’ (Aufklarung) dalam diskursus filsafat modern, sebenarnya adalah sebuah proses ‘penyempurnaan’ secara kumulatif kualitas subyektivitas dengan segala kemampuan obyektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan ‘kemajuan’ . Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk ‘mengukir sejarahnya sendiri’ di dunia—suatu proses self-determination , dimana manusia menciptakan kriteria-kriteria dan nilai-nilai untuk perkembangan diri mereka sendiri sebagai subyek yang merdeka. Keterputusan dari nilai-nilai dan spirit yang lama, telah memungkinkan manusia modern untuk hidup di dunia baru, dunia modern—dunia yang diandaikan tercipta seperti pada ‘Hari Kejadian’.
Bahkan Hegel pun menyatakan bahwa telah lahir sebuah jaman kelahiran dan perioda peralihan menuju satu era baru yang memutus Spirit dari dari dunia yang sebelumnya dihuni dan diimajinasikannya, dari pikiran yang telah menenggelamkannya di masa lalu, dan ia dalam proses transformasi, tidak pernah diam di tempat dan selalu dalam proses bergerak ke depan. Jelas sekali di sini bahwa pengertian spirit telah di materialisasikan menjadi sebuah kualitas di mana pada walnya di Era Pramodern spirit adalah sebuah entitas.
Hegel, dalam hal ini, melihat perioda modern sebagai satu perioda, di mana manusia sebagai subyek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya di dunia. Manusia modern tidak memerlukan landasan nilai, kebenaran, atau legitimasi selain dari dalam dan untuk dirinya sendiri—manusia modern bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Bagi Hegel, tidak ada landasan lain yang dapat menopangi subyek yang merdeka selain dari ‘akal budi’ sang subyek itu sendiri—akal budi yang mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Baginya adalah ilmu pengetahuan yang menjadi mahkota dari apa yang disebutnya ‘Kebenaran Ideal’ (Spirit) , menggantikan mitos, legenda, atau wahyu. Konsep ‘Spirit’ (Geist) yang digunakan Hegel, menjelaskan satu konsep orde universal yang diidentifikasikan sebagai ‘kehendak Tuhan yang menjelma di dunia’. Ilmu pengetahuan itu sendiri—sebagaimana subyek yang mencarinya—tidaklah sempurna dari awalnya. Spirit dan subyek selalu berada dalam proses ‘menjadi’ (becoming) .
Dunia modern sendiri tampaknya lebih mirip sebagai sebuah dunia yang kontradiktoris. Marshall Berman menggambarkan bahwa menjadi modern adalah menemukan diri manusia di dalam sebuah lingkungan yang menjanjikan petualangan, kekuasaan, suka cita, pertumbuhan, perubahan diri manusia sendiri dan dunia—dan pada saat yang sama, mengancam untuk menghancurkan segala sesuatu yang manusia punyai, segala sesuatu yang diketahuinya, segala sesuatu dari diri manusia sendiri. Ini dikarenakan masyarakat modern merupakan masyarakat yang sakit, karena di satu pihak masyarakat modern membutuhkan moralitas, tetapi di pihak lain ia membuatnya mustahil. Dunia modern memunculkan pemahaman-pemahaman tertentu tentang moralitas, tetapi juga menghancurkan dasar-dasar untuk menganggap serius pemahaman tertentu. Sampai sejauh ini perdebatan seputar permasalahan tersebut masih menjadi bahan pembicaraan.
Masyarakat yang atomistik, impersonal, dan penuh persaingan dalam dunia pasar dan kapitalisme, membuat orang tidak lagi menemukan jati-diri-individualnya dalam jati-diri-sosial. Dalam masyarakat tersebut jati diri individual seseorang menjadi abstrak dan berdasarkan pilihan bebasnya sendiri. Moralitas publik tidak lagi dapat didasarkan atas kesadaran untuk mengejar keutamaan hidup sebagai manusia, karena mengenai mana yang disebut keutamaan dan mana yang disebut cacat semakin sulit diperoleh kata sepakat. Apa yang secara tradisional dijadikan dasar material, objektif dan rasional untuk hidup bermoral, yakni kodrat kemanusiaan yang secara ontologis terarah pada Yang Baik, kini rupanya dipertanyakan, karena dianggap tidak sesuai dengan tuntutan kebebasan eksistensial manusia. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang menjamin kebebasan individu dalam hubungan kontraknya dengan individu lain.
Pemahaman mengenai jiwa pada era modern lebih kepada psyché yang diasumsikan menjadi suatu kualitas dalam diri manusia yang akan berhubungan dengan fakultas-fakultas tertentu—yang akhirnya berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut sebagai psikologi—ketimbang entitas dalam diri manusia yang lebih berhubungan dengan ruh atau spirit . Dari segala cabang ilmu umumnya diakui bahwa psikologi adalah yang paling gelap dan mistik, yang paling tidak peka terhadap bukti-bukti ilmiah dari ilmu yang manapun juga. Psycologism dalam makna nonpeyoratifnya adalah seluruh konsep dan masalah filosofis dapat direduksi menjadi beberapa bentuk analisis psikologis; seluruh bidang filsafat dapat diterangkan dengan basis prinsip-prinsip psikologi, dan bidang-bidang seperti etika dapat dilihat tak lebih dari psikologi terapan; dan karateristik esensial analisis psikologi adalah introspeksi dan observasi. Adapun makna peyoratifnya adalah kesalahan mengasumsikan bahwa konsep-konsep dan masalah-masalah psikologi dapat direduksi dan diselesaikan oleh analisis psikologi; kegagalan untuk membedakan antara pembahasan psikologi tentang asal-usul pengetahuan kita dalam aktivitas berpikir dengan struktur, kualitas, dan kecermatan nonpsikologi dari isi pengetahuan itu.
Seperti dalam faculty psychology yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa kesadaran dan keadaan-keadaan mental seperti kehendak (volition), berpikir, berkhayal, dan perasaan disebabkan dan dapat dijelaskan oleh fakultas-fakultas pikiran yang berkoresponden dengan keadaan-keadaan kesadaran, seperti fakultas kehendak, fakultas rasio, fakultas imajinasi atau khayal, fakultas ruhani, dan fakultas hawa nafsu. Pikiran (atau jiwa) bekerja berdasarkan fakultas-fakultas pada kesadaran dan keadaan-keadaan mental. Secara bersama-sama mereka membentuk kualitas atau substansi yang disebut pikiran, jiwa, yang dalam sebagian mode interaksi dengan tubuh merupakan sumber dari kesadaran atau keadaan-keadaan mental kita.
Kontras dengan functional psychology , sebuah doktrin yang menyatakan bahwa proses-proses atau keadaan-keadaan sadar seperti kehendak bebas, berpikir, beremosi, mempersepsi, dan menginderai adalah aktivitas-aktivitas atau operasi-operasi dari sebuah organisme dalam kesalinghubungan fisik dan tidak dapat diberi eksistensi yang penting. Aktivitas-aktivitas ini memudahkan kontrol organisme, daya tahan hidup, adaptasi, keterikatan atau penarikan diri, pengenalan, pengarahan, dan lain-lain. Seluruh organisme dapat dianalisis sebagai sebuah sistem umpan balik dan stimulus respon. Kesadaran tidak dihasilkan oleh fakultas-fakultas, sebuah jiwa atau pikiran, tetapi merupakan berbagai fungsi yang ditemukan dalam manusia yang dipandang sebagai makhluk biologis dan fisik yang berinteraksi dengan sebuah lingkungan. Psikologi fungsional menentang pandangan fakultas dalam psikologi (faculty psychology) bahwa misalnya, kehendak adalah sebuah fakultas dalam manusia (pikiran, kepribadian, kesadaran) yang menyebabkan kita membuat keputusan atau mengeluarkan energi ke arah sebuah tujuan. Tindakan memilih dan berupaya bukanlah tindakan yang mematuhi sebuah kehendak.
Ini terkait dengan behaviorisme yaitu sejenis materialisme dedukitf yang berupaya menjelaskan semua kesadaran-kesadaran term-term respon prilaku lahiriah dan/atau keadaan-keadaan watak tersembunyi, dan sama sekali mengabaikan pertunjukan kepada keadaan-keadaan mental. Ia berlawanan dengan introspeksi subjektivisme (dan psikologi introspeksi) sebagai sebuah sumber pengetahuan tentang sesuatu yang disebut kesadaran. Penganut behaviorisme radikal atau metafisikal percaya bahwa dalam beberapa hal tidak ada perbedaan antara keadaan mental batiniah pribadi dengan perilaku. Sebagian behavioris radikal memperlebar pengertian behavior hingga memasukan proses-proses neurologis.
Kata-kata konsep mental seperti memilih, memutuskan, bermaksud, dan berkehendak tidak mengartikan keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian mental. Kata-kata tersebut dapat dijelaskan dengan salah satu dari term-term berikut terjadinya perilaku yang dapat dilihat secara terbuka, atau terjadinya perilaku kodrati (kecenderungan) yang dapat dilihat secara terbuka. Sebagai contoh, berpikir dapat dijelaskan dengan term-term, pembicara yang tak terdengar, pergerakan larygeal (organ pangkal tenggorokan), kontraksi otot, respon kulit dan mata, dll. Emosi-emosi dijelaskan dalam term-term reaksi mendalam. Bahasa dan bicara merupakan sistem-respon yang kompleks dan tidak memberi dasar apapun untuk menyimpulkan adanya situasi mental yang tak teramati. Behavioris metodologis meyakini bahwa keadaan-keadaan mental memang (atau mungkin) ada, tetapi tidak menarik secara ilmiah-karena mereka tidak dapat diuji, diramalkan, dibuktikan, dikonfirmasi, atau dikuantifikasi secara objektif. Behavioris Epifenomenalistik meyakini bahwa keadaan-keadaan mental nonbehavioral ada tetapi tidak memiliki pengaruh kausal pada perilaku manusia.
2. Fase Ketidaksadaran sebagai Objek Pengetahuan Diri Manusia
Freud telah merobohkan pretensi filsafat untuk merumuskan kebenaran yang terdalam dan definitif ketika ia menyatakan bahwa pemikiran berbelit-belit para filsuf hanya sekedar pembungkusan suatu problem psikologis. Penemuan Freud yang terbesar adalah ketidaksadaran psikis dalam diri manusia yang bersifat dinamis, artinya yang mengerjakan sesuatu dalam hidup psikis manusia. Pada zaman modern, mulai dari Descartes, kehidupan psikis manusia disamakan dengan kesadaran. Sedangkan bagi Freud, kehidupan psikis manusia dapat dibandingkan dengan sebuah gunung es yang untuk sebagian terbesar tinggal di bawah permukaan laut dan tidak dapat ditangkap dengan indera. Tapi tahap tak sadar itu tetap aktif dan dengan cara bagaimanapun terintegrasi dalam hidup psikis manusia konkrit.
Teori psikoanalisa Freud telah memberikan suatu pengaruh yang cukup kuat pada pemikiran modern. Dalam menjelajahi wilayah jiwa Freud telah merumuskan ide dan istilah yang sekarang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan bidang-bidang seperti kesusastraan, seni, agama, antropologi, pendidikan, hukum, sosiologi, kriminologi, sejarah, biografi dan telaah-telaah lain mengenai masyarakat dan individu ikut merasakan pengaruh psikoanalisa Freud. Akan tetapi pemikiran Freud pun mendapat kritikan dimana ia dipandang sebagai sumber keributan dalam sejarah pikiran manusia yang mengubah lelucon manusia dan kenikmatan-kenikmatan mesra menjadi tekanan-tekanan yang kering dan misterius, yang menemukan kebencian di akar cinta, kebusukan di kasih sayang, noda dalam kasih sayang masa kanak-kanak, dosa dalam kebaikan hati, dan kebencian yang ditekan terhadap ayah sebagai suatu warisan manusia yang normal.
Walaupun begitu adalah karena Freud manusia sekarang berpikir lain sama sekali mengenai dirinya. Kebanyakan mereka menerima sebagai hal yang biasa konsep-konsep Freud seperti pengaruh bawah-sadar pada sadar, dasar kelamin dari neurosis, adanya dan pentingnya seksualitas infantil, fungsi mimpi, Oedipus Complex , pengendalian, pengingkaran dan transferensi (pemindahan). Segi-segi kelemahan manusia, seperti salah sebut, lupa nama dan tak ingat janji mendapat makna baru jika dilihat dari sudut pandang Freudian.
Mesti diingat bahwa psikiatri dan psikoanalisa tidaklah sama. Psikoanalisa dapat dianggap sebagai bagian dari psikiatri dan biasanya digunakan hanya pada keadaan-keadaan gangguan kepribadian yang paling sulit. Psikoanalisa dapat dirumuskan sebagai terapi dalam pengobatan gangguan syaraf dan psikis. Keadaan individu-individu yang tak seimbang ia anggap sebagai gejala-gejala penyelewengan ekonomi, sosial dan kebudayaan dari dunia zaman sekarang. Tujuannya ialah untuk menyerang penyakit itu pada akarnya.
Dalam psikologi Freud, ketaksadaran inilah yang berkuasa dan kegiatan-kegiatan sadar tak lebih dari kegiatan yang bersifat mengikut (lebih rendah). Dengan jalan memahami kedalaman dari ketaksadaran yang jauh dan yang tidak dikenal, ia menganggap manusia dapat mengenal fitrah batinnya. Kebanyakan pemikiran manusia menurut Freud, adalah ketaksadaran dan hanya kadang-kadang menjadi sadar. Pikiran ketaksadaran ini adalah sumber neurosis, karena individu itu mencoba membuang ke daerah itu kenangan-kenangannya yang tak ia sukai dan harapan-harapannya yang berakhir dengan kekecewaan. Tapi ia hanya berhasil menimbunnya jadi kesulitan-kesulitan di masa depan.
Freud menolak pembedaan antara supraconscious (atas-sadar) dan subconscious (bawah-sadar) karena ia berpendapat bahwa pembedaan serupa itu secara implisit menyamakan “yang psikis” dengan “yang sadar”, sedangkan seluruh usaha psikoanalisa Freud tidak bermaksud lain daripada menunjukkan bahwa dalam hidup psikis sebagai keseluruhan terdapat taraf sadar dan taraf tak sadar. Jika manusia mengerti hidup psikisnya, menurut Freud kesadaran justru tidak boleh dipandang sebagai titik referensi yang utama. Dengan demikian, ketidaksadaran tidak merupakan kesadaran yang lain, melainkan harus dimengerti sebagai yang lain daripada kesadaran. Ketidaksadaran mengingkari kesadaran; artinya proses-proses psikis dalam ketidaksadaran sama sekali berlainan dengan proses-proses psikis yang sadar.
Dalam teori utamanya, Freud menganggap kegiatan mental satu individu sebagai sesuatu yang berlangsung pada tiga tingkat, yang dia namai id , ego , dan superego . Yang paling penting ialah id . Menurut Freud id adalah bagian dari pribadi manusia yang gelap yang tak dapat dimasukkan pengetahuan yang ada pada manusia; sedikit tentangnya yang dapat manusia pelajari dari telaah mimpi dan dari pembentukan gejala-gejala neurotis. Id adalah pusat dari naluri-naluri dan impuls-impuls primitif, yang menjangkau ke belakang sampai ke masa silam hewani manusia, ia bersifat hewani dan seksual, juga tak sadar. Id mengandung segala yang diwarisi, yang ada waktu ia dilahirkan, yang telah terpatri pada susunan diri. Id itu buta dan tak kenal kasihan. Satu-satunya kehendaknya ialah memuaskan keinginan dan kenikmatan, dengan tiada memperdulikan akibat-akibatnya. Singkatnya Id itu tidak mengenal nilai, tak mengenal buruk baik, tak punya moral.
Bayi yang baru lahir adalah perwujudan dari id . Lambat laun ego berkembang dari id ini dengan bertambah besarnya bayi itu. Ego itu tidak dibimbing seluruhnya oleh prinsip kesenangan, tapi ia dikuasai oleh prinsip kenyataan. Ego ini sadar akan dunia sekelilingnya, dan mengakui bahwa kecondongan tak kenal aturan dari id itu harus ditahan untuk mengelakkan suatu bentrokan dengan masyarakat. Sebagaimana dilukiskan oleh Freud, ego itu adalah mediator antara kehendak-kehendak id yang liar dan kendali-kendali dunia luar. Karena dalam keadaannya, ego itu berlaku sebagai sensor terhadap keinginan-keinginan id , dengan jalan menyesuaikannya kepada keadaan-keadaan yang realistis, dengan jalan menyadari bahwa pengelakan hukuman, bahkan kepentingan keselamatan diri sendiri, mungkin tergantung dari penekanan id itu. Tapi dari konflik antara ego dan id ini mungkin timbul neurosis yang sangat menganggu kepribadian seseorang.
Akhirnya ada unsur ketiga dalam proses mental, yaitu superego , yang secara umum dapat dirumuskan sebagai sanubari. Superego adalah evolusi mental tertinggi yang dicapai oleh manusia, dan terdiri dari endapan-endapan dari segala larangan-larangan, segala tatakrama yang diajarkan kepada seorang anak oleh orangtuanya dan para pengganti orang tua. Perasaan kesadaran batin semuanya tergantung dari perkembangan superego . Seperti id , superego adalah tak sadar sifatnya, dan keduanya selalu berada dalam konflik yang tak putus-putus sedangkan ego bertindak sebagai wasit. Superego adalah kampung halaman dari cita-cita akhlak dan peraturan-peraturan tingkah laku. Jika id , ego , superego berada dalam keadaan rada selaras, maka individu itu akan seimbang dan berbahagia. Tapi jika ego mengizinkan id untuk melanggar aturan, maka superego akan menyebabkan kesusahan, perasaan dosa dan pelaksanaan-pelaksanaan lain dari kesadaran batin.
Suatu konsep yang dekat sekali ikatannya dengan id , ialah konsep yang dilahirkan oleh Freud: teorinya tentang libido . Ia mengajarkan bahwa semua impuls-impuls id , dibebani oleh suatu bentuk dari “energi psikis”, disebut libido yang terutama bersifat seksual. Teori libido ini disebut orang “inti dari doktrin psikoanalisis”. Semua kerja-kreatif manusia, baik seni, hukum, agama dan sebagainya, dianggap sebagai perkembangan dari libido . Dalam penamaan energi seksual, sebetulnya kata “seksual” disini mempunyai arti yang luas. Pada kanak-kanak termasuk kebiasaan-kebiasaan, seperti mengisap jari, mengisap botol, dan buang air. Ditahun-tahun kemudian, libido ini mungkin dipindahkan kepada orang lain dengan perkawinan, lalu beroleh bentuk gangguan seks, atau diutarakan dengan pertolongan ciptaan-ciptaan artistik, sastra atau musik—suatu proses yang disebut “penggeseran”. Menurut Freud, naluri seks itu adalah sumber terbesar dari kerja kreatif.
Di bawah pengaruh libido , demikian Freud membela dalam suatu teori psikoanalisis yang barangkali paling kontroversial, anak-anak itu mengembangkan perasaan seksual terhadap orang tuanya. Dimulai dengan kenikmatan indera pertama yang diperoleh dari dari minum dari susu ibu, anak itu kemudian mulai memperoleh suatu rasa ikatan cinta pada ibunya. Makin matang ia, pada suatu usia yang muda, anak laki-laki itu mulai merasakan suatu ketertarikan seksual yang besar terhadap ibunya, sedangkan ayahnya dibenci dan ditakutinya sebagai seorang saingan. Sebaliknya, anak perempuan, akan berkisar dari hubungan yang dekat dengan ibunya dan jatuh cinta pada ayahnya, sedangkan ibunya menjadi pokok dari kebencian dan persaingan. Pada laki-laki teori ini disebut Oedipus Complex , diberi nama menurut suatu tokoh dongeng Yunani kuno yang telah membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri. Oedipus Complex ini, menurut Freud, adalah warisan yang manusia terima dari nenek moyangnya yang primitif, yang telah membunuh ayah mereka dalam suatu kecemburuan. Jika ia telah dewasa maka seorang individu yang normal akan dapat mengatasi impuls-impuls Oedipus ini. Tapi individu-individu yang lemah sebaliknya, mungkin tidak pernah berhasil memutuskan ikatan pada orang tua ini, dan dengan demikian jatuh ke dalam rentetan neurosis.
Sebetulnya menurut Freud neurosis-neurosis itu dengan tanpa kecualinya adalah gangguan-gangguan dari fungsi seksual. Selanjutnya, neurosis tidak bisa disebabkan oleh perkawinan yang tidak berhasil atau hubungan percintaan orang dewasa yang malang, tapi semuanya dapat dikembalikan kepada kompleks-kompleks seks dari masa kanak-kanak. Dalam mencobakan teorinya pada bidang antropologi, Freud berkesimpulan bahwa mitos alam dan keagamaan dari manusia primitif adalah hasil dari kompleks-kompleks ayah dan ibu. Bahkan agama, menurut kepercayaannya, adalah suatu pengutaraan dari kompleks ayah. Setelah memberikan analisa-analisa yang sampai kepada keperincian terkecil dari beratus kejadian yang dibawa kepadanya untuk diobati, Freud mengangkat naluri seksual dan keinginan seksual menjadi peranan yang terpenting dalam pembentukan suatu kepribadian, dan sebagai sebab utama dari neurosis. Pandangan ini adalah suatu pandangan yang telah ditolak oleh beberapa psikoanalisia terkemuka.
Karena ia dipaksa oleh masyarakat untuk menekan sebagian besar dari keinginan-keinginannya, individu itu dengan tak sadar menumpuk banyak “tekanan-tekanan”. Biasanya, kesadaran seseorang berhasil untuk menghindarkan kekuatan gelap dari ketaksadaran yang telah ditekan untuk muncul kembali. Tapi orang-orang yang neurotis, mungkin harus melewati suatu masa gangguan emosionil yang sangat dalam disebabkan oleh penyensoran tersebut. Adalah kewajiban terapi psikoanalitik menurut Freud untuk menyingkapkan tekanan-tekanan ini dan menggantinya dengan tindakan-tindakan pertimbangan yang mungkin lahir dari penerimaan atau penolakan dari apa yang selama ini telah diingkari. Karena sifat yang menyakitkan dari bahan-bahan yang ditekan ini, maka si penderita akan mencoba menghindarkan pengungkapan tekanan-tekanannya. Freud menyebut usaha ini “tahanan”, yang harus dijadikan tujuan oleh dokter untuk diatasi.
Alat lain untuk masuk ke dalam konflik dan emosi batin, yang dikembangkan oleh Freud ialah analisa mimpi di mana ia tampil sebagai pelopornya karena bagi para psikolog sebelum dia, mimpi dianggap sebagai sesuatu yang tak punya arti atau maksud. Menurut Freud dapat dibenarkan jika manusia mengatakan bahwa sebuah mimpi adalah sebuah pengabulan yang menyamar dari keinginan yang ditekan. Setiap mimpi menggambarkan sebuah drama dalam dunia batin. Menurut Freud mimpi adalah hasil dari suatu konflik dan pengawal tidur. Fungsinya lebih lagi untuk menolong tidur dari pada mengganggunya, dengan mengendurkan ketegangan-ketegangan yang datang dari kehendak-kehendak yang terkabul.
Dunia mimpi dalam pandangan Freud, dikuasai oleh ketaksadaran, id , dan mimpi adalah penting sekali bagi seorang psikoanalis, karena mimpi ini dapat mengantarkan dia ke dunia tak sadar penderita. Dalam ketaksadaran ini terdapat semua keinginan-keinginan primitif dan kehendak emosional yang dijauhkan dari kehidupan sadar oleh ego dan superego . Nafsu hewani selalu berada di bawah permukaan dan mendorong dirinya sendiri ke dalam mimpi. Tapi bahkan dalam tidur, ego dan superego berjaga sebagai sensor. Oleh sebab itu, arti mimpi tidak selamanya jelas, mereka dinyatakan dengan lambang-lambang dan memerlukan penafsiran seorang ahli. Sebagai lambang mereka tak dapat diterima begitu saja, kecuali dalam mimpi anak-anak yang bersahaja.
Barangkali karena peringatan-peringatan, kekecewaan bertambah atau pesimisme yang berlebihan, pada dekat akhir kehidupannya Freud mulai menekuni “naluri mati”. Akhirnya ia menganggap konsepsi ini hampir sama pentingnya dengan naluri seksual. Freud beranggapan bahwa ada suatu naluri mati yang mendorong segala makhluk untuk kembali kekeadaan organik darimana ia berasal. Menurut pandangan ini, manusia selalu ditarik-tarik oleh keinginan pada hidup, yaitu naluri seksual, dan oleh suatu kekuatan yang bertentangan, keinginan untuk menghancurkan, atau naluri kematian. Pada akhirnya tentu saja naluri kematian ini yang menang. Naluri ini menjadi sebab dari peperangan, dan contoh-contoh sadisme, seperti prasangka terhadap ras dan kelas, kenikmatan menghadiri pengadilan-pengadilan kriminil, adu sapi dan pemasungan.
Di atas ini secara singkat dilukiskan fase-fase pokok dari teori Freud. Ahli-ahli psikiatri sekarang ini terpisah jadi dua blok yang lebih kurang bertentangan, yang pro dan yang anti Freud. Bahkan murid-muridnya telah merubah penerimaan bulat dari teori-teorinya selama lima-puluh tahun ini. Salah seorang dari pengikut yang paling awal, Alfred Adler, memisahkan diri dari pihak Freud karena ia percaya bahwa Freud terlalu melebih-lebihkan naluri seksual. Sebagai suatu doktrin alternatif, Adler mengajarkan bahwa keinginan setiap orang untuk membuktikan keagungannya adalah sumber dari tingkah laku manusia. Ia mengembangkan pikiran dari “kompleks rendah diri” yang mendorong seorang individu untuk berusaha memperoleh pengakuan dalam suatu lapangan kegiatan.
Pembelot lain yang terkenal ialah Carl Gustav Jung dari Zurich, yang juga mencoba mengurangi peranan seks. Jung membagi manusia menjadi dua tipe psikologis: tipe ekstrovert dan tipe introvert, biarpun ia membenarkan bahwa setiap individu adalah campuran dari keduanya. Berbeda dari Freud, Jung mementingkan faktor-faktor keturunan dalam perkembangan kepribadian. Umumnya, para pengeritik Freud memisahkan diri dari dia mengenai soal-soal seperti kepercayaannya yang ia kemukakan tentang pentingnya neurosis masa kanak-kanak, keyakinannya bahwa manusia dikendalikan naluri yang asal dan kaku, dan pengangkatan yang diberikannya kepada libido atau energi seksual sehingga memperoleh tempat sentral dalam pembentukan kepribadian. Beberapa orang tak sependapat dengan Freud mengenai kepercayaannya bahwa asosiasi bebas adalah suatu teknik yang tak dapat diganti untuk menyelidiki tak-sadar, dengan menunjukkan terutama kesulitan-kesulitan dalam menafsirkan kejadian-kejadian yang dihasilkan oleh metode ini.
Walaupun begitu perubahan dan perkembangan selama abada 20 ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Freud di mana ia membukakan mengenai dunia ketaksadaran. Ia mencoba memperlihatkan bagaimana ketaksadaran ini bekerja menjadikan manusia seperti adanya sekarang dan ia telah memperlihatkan bagaimana cara untuk mencapainya. Banyak dari ide dan konsepnya harus dirubah oleh orang-orang yang datang sesudahnya karena pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman lebih jauh. Karena Freud pula maka sekarang ini terdapat kecondongan yang makin keras untuk menyatakan bahwa orang neurotis dari psikotis sebetulnya sama saja seperti manusia pada umumnya, hanya lebih neurotis dan lebih psikotis.
Freud telah memetakan psikologi dan seorang pelopor walaupun sifatnya nihilis. Ia telah membuat dunia berpikir secara psikologis—suatu kebutuhan pokok bagi zaman modern dan ia memaksa manusia menanyakan kepada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan yang dianggap bersifat vital bagi kesejahteraan manusia. Dari tesis psikologi akademi yang steril dari abad ke-19 ia membawa anti-tesis psikoanalisis dengan pengingkaran-pengingkarannya yang kelam. Disamping kumpulan fakta-fakta klinik tentang penderita-penderita yang ia amati, Freud telah membawa tiga perubahan dasar dalam cara penelaahan kepribadian dan patologi jiwa. Yang pertama ialah, bahwa orang mengira bahwa manusia tak dapat bicara tentang proses psikologi sama sekali dan memikirkannya dengan logika pengetahuan alam. Ini terjadi tatkala Freud mengemukakan konsep realistis dari ketaksadaran dan memperkenalkan metode-metode praktis untuk menyelidikinya. Kedua, adalah pengemukaan suatu dimensi baru dalam psikopatologi: masa kanak-kanak. Sebelum Freud, psikiatri dipraktekkan seolah-olah setiap penderita adalah seorang Adam—yang belum pernah menjadi anak kecil. Ketiga ialah pembukaannya terhadap penghargaan genetik dari naluri seksual. Penemuannya yang sebenarnya disini terutama bukan bahwa kanak-kanak mempunyai kehidupan seks, tapi bahwa naluri seks itu mempunyai masa kanak-kanak. Dalam Era Modern tidak ada psikolog yang telah mencoba menjelaskan begitu banyak penjelasan atas cara bekerja pikiran manusia seperti yang telah dilakukan oleh Freud.
Di sisi lain pula telah banyak filsuf yang berbicara tentang “kebertubuhan’ (bahasa Prancis “ corporeite ”; bahasa Jerman “ leiblichkeit ”) manusia: situasi konkrit manusia sebagai makhluk yang bertubuh. Paham ini menunjuk kepada hubungan dialektis antara manusia dan dunianya. Manusia tanpa dunia bukanlah manusia, sebagaimana dunia tanpa manusia bukanlah dunia. Tubuh merupakan penghubung antara subyek dan dunianya. Tubuh memainkan peranan sebagai “penengah”, tetapi penengah dalam arti yang unik, karena di satu pihak tak terpisahkan dengan aku dan di lain pihak berakar dalam dunia. Dengan demikian ada suatu pusat dimana terjadi semacam pertukaran antara manusia dan dunia, yaitu tubuh.
Dalam ilmu pengetahuan alam tubuh dibicarakan pada suatu tahap obyektif. Yang mereka bicarakan sebenarnya tidak lain dari pada suatu tubuh abstrak: tubuh yang dimiliki oleh sembarang orang. Tetapi secara konkrit tubuh semacam itu tidak ada. Bagi Descartes tubuh merupakan sebuah mesin, demikian juga pandangan ilmu kedokteran tentang tubuh manusia sekitar abad ke-19. Tetapi kenyataannya tubuh tidak pernah suatu robot.
Tubuh konkrit adalah “ corps vecu ”, kata Marleau-Ponty, tubuh yang dihayati. Fenomenolog Perancis itu mempergunakan juga istilah “ chair ” (daging) untuk menyatakan bahwa tubuh selalu bersatu dengan subyek. Tubuh tidak pernah obyek belaka, tetapi selalu serentak juga subyek. Bahasa Jerman mempunyai kemungkinan untuk menunjukkan perbedaan antara tubuh subyektif dan tubuh obyektif, dengan memakai kata Korper (tubuh sebagai benda) dan Leib (tubuh yang bersatu dengan subyek). Salah satu cara untuk memperlihatkan status unik tubuh itu ialah memandangnya sebagai alat, tetapi sebagai suatu alat yang unik, ia menyatu dengan yang mempergunakan alat itu. Tubuh tidak pernah benar-benar dapat dianggap sebagai alat dalam pengertian didayagunakan oleh sesuatu yang lain, entitas yang terpisah dengannya. Dalam arti itu dikatakan A. de Waelhens: “tubuh adalah alat dari alat-alat”. Dilema tubuh ini diilustrasikan dengaan baik oleh Gabriel Marcel sebagai, “aku adalah tubuhku, tapi serentak juga harus ditambahkan bahwa dipandang dari segi lain aku juga mempunyai tubuhku.” Semua kesulitan ini bersumber pada cara beradanya tubuh yang khas itu sebagai penegah antara manusia dan dunianya.
Namun demikian, suatu dualisme yang membelah manusia menjadi suatu kesadaran intelektual murni di samping suatu organisme hewani belaka, akan ditolak oleh fenomenologi. Marleu-Ponty misalnya, menolak dengan tegas untuk mempertentangkan pada manusia suatu tahap lahir dengan suatu tahap batin. Ia coba memahami kesatuan manusia sebagai peralihan terus-menerus dari batin ke lahir dan sebaliknya dari lahir ke batin. Subyek manusiawi bukan saja “ cogito ” (aku berpikir), sebagaimana diandaikan oleh Descartes; ia adalah juga —dan bahkan pada tahap lebih fundamental— “ possum ” (aku mampu), kata Marleu-Ponty. Sedangkan Husserl lebih jauh lagi menunjukkan bahwa dengan intensionalitas sebagai hakikat kesadaran manusiawi maka seharusnya ia katakan: “aku berpikir akan sesuatu”.
Psikoanalisa Freud sendiri telah dijadikan contoh oleh Marleu-Ponty sebagai pemulihan dan pendalaman paham “daging”, artinya tubuh berjiwa, sehingga roh beralih ke dalam tubuh, seperti sebaliknya tubuh beralih ke dalam roh. Dengannya, pembagian manusia ke dalam dua wilayah: satu yang kurang dan lain yang lebih bernilai, satu yang hina dan lain yang luhur, satu yang di pusat dan lain yang di pinggiran digugat kembali dan dipermasalahkan. Dalam fenomenologi sering ditekankan bahwa libido merupakan suatu paham di perbatasan antara wilayah psikis dan wilayah fisis, karena meliputi aspek-aspek psikis maupun badani. Karena alasan itu pula usaha Freud dinilai sebagai berguna untuk melampaui suatu pandangan dualisme tentang manusia. Fenomenologi lebih jauh lagi menegaskan bahwa dalam arti tertentu manusia adalah bahasa. Apapun yang diperbuatnya (atau dilalaikannya), mau tidak mau ia mengungkapkan suatu makna dengan tindakannya
http://suluk.blogsome.com/2005/06/30/reduksi-konsepsi-manusia-tinjauan-umum-pada-era-pramodernisme-modernisme-dan-posmodernisme/
Post a Comment